Wikipedia
Hasil penelusuran
Rabu, 21 November 2012
Selasa, 20 November 2012
Suara Hati anak Palestina
Tulisan di bawah ini saya copas dari Blog.Liputan6.com
tanggal 11 Januari 2009. Isinya sangat menggugah emosi dan menyentuh hati. Saya
telah menyimpan link tulisan ini di laptop selama hampir empat tahun. Sekarang
ketika mata dan hati kita kembali fokus terarah ke Palestina, saya ingin
berbagi tulisan ini. Kepada Bapak M. Nurul
Amin, mohon izin saya posting tulisan ini di sini.. J
Semoga bermanfaat untuk mengetuk naluri kemanusiaan
kita..
SUARA ANAK
PALESTINA (SEANDAINYA AKU TERLAHIR PALESTINA)
Oleh: M. Nurul Amin
Palestina, ya, Tuhan menghendaki aku terlahir di
Palestina. Negeriku, Palestina, darahku, Palestina. Aku terlahir di tengah
desing peluru dan aroma kematian. Aku tak tahu, mungkin saat aku dilahirkan,
tak jauh dari sisiku, ada saudaraku sesama anak Palestina yang meregang
nyawa dengan luka menganga di dada dan kepala akibat peluru yang meghujam
atau pecahan bom yang mendera.
Aku menangis saat dilahirkan, itulah
garis hidupku, untuk menangis diawal kehidupanku. Mungkin tak jauh dari sisiku,
ada juga yang menangis, ya, Ibu dari anak Palestina yang kehilangan anak akibat
kejamnya peperangan. Anak itu sudah tidak bisa lagi menangis, mana mungkin, dia
sudah terbujur kaku, tak berdaya dengan darah mengalir dari luka yang pasti
sakit tak terkira…
Ibuku, pasti tersenyum saat aku lahir ke dunia, meski
aku yakin, ia tak akan menampakkannya saat melalui lorong kematian di rumah
sakit yang penuh sesak dengan gelimpang korban anak Palestina. Ibuku, pasti
menangis jua, meski tertahan sesak di dada.
Ayahku, saat itu tak ada, kelak aku tahu bahwa saat
aku memandang dunia, dia tengah memandang kematian dengan sekedar batu melawan
tank dan tentara yang membabi buta, menyerang menggila. Aku beruntung, masih
bisa bertemu ayahku, meski pada akhirnya aku harus rela, ayahku kelak juga
terbujur di tengah deru pesawat tempur yang memuntahkan bom kemana saja, di
kota yang kucinta.
Gaza, itu tercatat dalam buku
kelahiranku, aku terlahir di Gaza.
Masa kecilku, kulalui dengan mainan
senjata dan perang-perangan, ya, bagaimana tidak. Kotaku dikuasai pasukan
asing bersenjata. Sesekali kulihat senjata itu menyalak, memuntahkan isinya,
ada gas air mata, dan tentu ada yang peluru tajam meminta nyawa, warga
Palestina, dan tak jarang anak Palestina.
Aku
melihat anak Palestina seusiaku, sudah berani melawan pasukan asing meski hanya
dengan ketapel kecil berisi sejumput batu yang tak berarti apa jika mengenai
tameng tentara atau besi kendaraan lapis baja. Mereka berani tampil ke muka
hingga ke dekat moncong senjata. Aku tak tahan, akhirnya akupun ikut jua.
Aku senang, karena aku merasa
sebagai pejuang, alias jagoan. Aku tak takut, bukankah anak Palestina lain juga
tidak takut ?
Aku belum berusia remaja sampai
suatu saat kelak aku kehilangan kawanku yang kulihat kerap melempar batu dan
melontar ketapel tak lelah-lelahnya, ya kelak ku tahu itu bernama Intifada.
Kawanku menjadi korban Intifada.
Lama kelamaan aku menjadi terbiasa,
melihat dan mendengar kawan, saudara, kerabat ataupun orang tak kukenal
yang hilang atau tak tentu semesta, kabarnya dibawa pasukan asing
dimasukkan ke penjara gelap gulita, atau tewas tak bernama. Aku terbiasa
mengalami kehilangan, aku terbiasa melihat dan merasakan derita, aku terbiasa
melihat airmata dan pasti aku terbiasa melihat warna merah mengalir
dimana-mana.
Kata semua orang, kini kau sudah
menjadi anak Palestina !.
Baru kutahu, anak Palestina berarti
anak terjajah, yang harus membebaskan negeri dari cerita kelam negeri yang
terlunta. Dan baru kutahu, Israel adalah negara yang dahaga atas tanah
Palestina. Aku mulai merasa, bahwa aku bermakna dan bangga menjadi anak
Palestina.
Kini, di
penghujung tahun, kudengar lagi deru mesin tempur berseliweran di langit
kotaku, kudengar dentuman membahana di sudut-sudut wilayah permaiananku,
kutatap kilatan cahaya mematikan menyilaukan pandangan mataku disertai
bunyi sirene di segala penjuru
Pagi, siang dan malam terus
berlanjut tak menentu, deru itu, dentuman itu dan kilatan cahaya itu menyergap
seluruh sisi hidupku. Kulalui hari dengan berlari, berlindung dan bersembunyi
dari serbuan tak menentu.
Aku tak tuli, kudengar tangisan
dimana-mana, kudengar jerit teman sebaya, Ibu-ibu Palestina menggendong anak
dan orang tua paruh baya yang terpaksa harus terpapah tanpa daya. Dan kudengar
lenguh terakhir nyawa di dada.
Aku tak buta, kulihat luka, kulihat
jasad dimana-mana, kulihat merah itu ada dan tak terkira, kulihat kotaku tak
lagi indah mempesona. Dan harapan itu sepertinya sirna.
Aku tak menangis, meski ayahku
menjadi jasad tersisa di tengah gempuran melanda kota. Tak ada lagi tangis, aku
sudah terbiasa, seperti juga anak Palestina lainnya.
Waktu itu tiba, kata orang mulai ada
perang kota !
Aku berlindung dibalik reruntuhan
bangunan rumah ibadah, yang hancur oleh tembakan serdadu nista, aku
lihat, ada orang Palestina bersenjata, dengan tutup wajah dimuka, kutahu juga
ada remaja Palestina memanggul senjata. Mereka sigap, lincah, berlari ke
sudut-sudut tak terjamah, melawan pasukan asing yang menyerbu kedalam kota. Aku
tahu, mereka siap mati di tanah tercinta.
Ah,
seandainya aku bisa melalui hari-hari ini, tanpa sebutir peluru mengenai dada,
tanpa pecahan bom menerpa kepala, mungkin aku tak-kan lupa, ini catatan kelam
manusia di tanah terjajah, Palestina
Tuhan, perkenankan aku menjadi
remaja, agar aku bisa berlari membawa bendera Palestina, berikat kepala,
bolehlah juga bersenjata, apa adanya, melawan pasukan Israel sampai tetes
terakhir itu tiba.
Kalau kau berbaik hati Tuhan,
ijinkan aku menjadi dewasa, agar aku mengikat keras bendera Palestina di tiang
dan sisa bangunan menjulang ke angkasa. Kulekatkan ikat kepala, selekat jiwa
dan raga, senjata, apapun bisa kuguna, melawan hingga gelora di dada sirna
bersamaan dengan hembusan nafas yang tersisa.
Aku anak Palestina, selamanya
Palestina, darahku, merahnya Palestina..
Sumber: http://blog.liputan6.com
Langganan:
Komentar (Atom)