Aku tahu kamu akan pulang. Aku
selalu menunggu hari itu tiba. Email-email darimu yang sayangnya makin jarang
akhir-akhir ini selalu menjanjikan itu. Kamu akan pulang ke tanah tumpah darah,
tanah air kita tercinta, Indonesia. Saat ini tidak ada seorang pun yang bisa
memaksamu pulang setelah mereka mencecarmu untuk pergi. Aku tahu kau akan
menemukan jalan untuk pulang. Ketika ibu pertiwi memanggilmu, kamu takkan
pernah bisa menampik suara itu.Suara
hatimu, bait-bait rindu untuk negeri.
Sekarang
ini biarlah kupuaskan hati dengan membaca kembali surat-suratmu. Surat yang
rutin kamu kirimkan sejak kita berpisah dulu. Untaian kata yang selalu membuatku
kagum sekaligus terheran-heran. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari hatimu
yang saat itu masih bocah yang baru menginjak kelas satu SMP, lalu kau torehkan
ke atas kertas yang ditujukan padaku. Bagaimanapun aku tersanjung, sebab hanya
aku yang kau percayai untuk menampung curahan hatimu yang begitu dalam. Tentang
suatu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh anak anak lain.
Sigli,
November 1999
Aku
mencintai negeri ini, Lan. Cinta sepenuh jiwa raga. Tidak ada sesuatu pun yang
bisa merenggut cinta itu dariku. Tidak juga situasi yang sedang memanas di daerahku
akhir-akhir ini. Aku tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ada
satu kata yang begitu sering disebut-sebut, ditulis di tembok, spanduk bahkan
di badan-badan jalan. REFERENDUM.
Sepuluh huruf itu membuatku takut. Bagaimana jika kata itu menjadi kenyataan?
Bagaimana jika cinta itu direnggut paksa dariku? Aku sungguh tidak siap, Lan.
Aku tidak mau menjadi orang asing di negeriku sendiri. Tapi aku juga tidak mau
menjadi orang asing di tanah ini. Lan, beri aku pilihan.
Meskipun
aku tinggal di daerah konflik, yang nasionalismenya mungkin patut
dipertanyakan, tetapi jangan pernah pertanyakan hal itu padaku. Merah putih itu
telah menyatu dalam diriku. Jika Gajah Mada pernah bersumpah hendak menyatukan
nusantara, aku punya mimpi mengelilingi Indonesia. Indonesia kita, Lan. Kamu catat
impianku ini ya.
***
Sigli, Agustus 2003
Cintaku
untuk Indonesia tidak perlu kau ragukan lagi, Lan. Aku selalu mencintai negeri
ini. Bahkan ditengah desing peluru yang merenggut nyawa saudaraku dan mengganggu keamanan dan ketentraman hidupku,
aku senantiasa melafazkan cinta itu. Tak pernah sekalipun ada antipati untuk
negeri yang telah mengirim peluru itu kepada kami. Memang pernah sekali waktu
aku mempertanyakan. Adakah negeri ini mencintaiku sebagaimana aku mencintainya?
Tapi
pertanyaan itu hilang disapu angin kala aku menatap merah putih yang berkibar
di sepanjang jalan sejak awal
Juli. Aku belum memberikan apa-apa untuk negeri ini. Hanya cinta. Itupun
kusembunyikan rapat-rapat (hanya kau saja yang tahu, Lan). Bagaimana dengan
para pejuang yang menegakkan merah putih kokoh berdiri? Mereka tak hanya
memberikan cinta, tapi juga menyumbangkan jiwa raga.
Cinta itu kian subur
menyemai mimpiku. Aku akan mengelilingi Indonesia! Aku telah menjejaki kilometer
nol Indonesia di Sabang. Sabang pulau yang indah. Panorama lautnya begitu
memukau. Aku belum pernah menjumpai pantai seindah ini. Tapi nanti aku pasti
akan menapaki lebih banyak pantai yang indah. Aku akan ke Bali. Menikmati
sunset di Kuta. Juga menyusuri Sanur dan tidak lupa aku akan ke pantai Lovina.
Di sana kan kutuliskan cinta. Love Indonesia. Lalu aku kan menyeberang ke
Lombok. Tak sabar menikmati indahnya pantai Senggigi. Di lain waktu aku juga
akan ke Bunaken. Taman lautnya begitu termasyur.
Tak terhitung banyaknya
pantai di negeri tercinta ini juga pulau, gunung dan danau. Nah, aku penasaran
dengan yang namanya danau, Lan. Ingin sekali melihatnya secara nyata. Alam
Indonesia memiliki banyak danau. Aku harus mengunjungi beberapa diantaranya.
Peluang terbesarku adalah ke danau Laut tawar di Aceh Tengah yang sangat
mungkin untuk kujangkau.
Tahun
depan sekolahku berencana tour ke danau Toba. Asyik...aku begitu ingin
mengecipakkan kaki di air danau terbesar di Indonesia tersebut. Betapa aku
ingin ke sana. Tak sabar menunggu saat itu
tiba.
Jangan
bangunkan aku, Lan. Mimpi itu begitu indah. Aku ingin menjejakkan kaki di semua daerah
Indonesia. Dari ibukota provinsi hingga pelosok pedesaan. Dari ujung Aceh,
kilometer nol di Sabang, hingga
kilometer tekahir jengkal tanah Indonesia di papua. Aceh dan papua adalah tiang
tonggak, tempat tali persaudaraan dan persatuan kita sebagai satu bangsa
disimpulkan dan diikatkan. Tiang itu harus selalu kokoh, karena jika salah
satu rapuh banyak hal yang
dipertaruhkan. Kita tentu tak pernah mau itu terjadi.
***
Itulah surat terakhir
yang aku terima dari kamu, Fir, hingga akhirnya kita bertemu kembali. Dengan
seizin papa aku kembali ke Aceh dan melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Aceh sudah
kondusif, setelah dilanda tsunami yang akhirnya berujung perdamaian. Kita
bersama lagi merangkai hari-hari seperti masa kecil dulu. Libur akhir pekan kita sering menyempatkan pulang ke
Sigli. Tentu saja aku pulang ke rumahmu
karena rumahku yang letaknya persis di depan rumahmu telah dijual ketika kami
pindah ke Jakarta. Serpihan kenangan masa kecil kita berserakan di antara kedua
rumah itu. Dengan setia aku memungutnya dan menyimpan kembali di hatiku.
Tak ada yang berubah.
Kamu masih sering membicarakan impian-impianmu, harapan-harapanmu. Semua
tentang Indonesia. Nasionalismemu masih melekat erat. Dan aku selalu menjadi pendengarmu yang
budiman. Tiga kali aku menjadi saksi kebahagiaanmu menggapai nol koma sekian
persen mimpi. Waktu kita liburan ke Sabang, Medan dan Jakarta. Dua kota itu
sudah sangat biasa bagiku, sementara bagimu bisa ke sana adalah perwujudan
sebuah impian.
Di Sabang kamu bebas berekspresi
di pantai Iboih yang pemandangannya begitu indah. Juga berenang dan menyelam di
pantai Gapang. Tak lupa kita pergi ke tugu kilometer nol. Aku mengabadikanmu
dalam beberapa foto . Di depan tugu itu kamu termangu lama.
“Ada apa, Fir?”
Kamu tersentak
mendengar pertanyaanku.”Aku melihat Indonesia dari sudut ini, Lan. Dan aku
melihat jarakku dengan semua tempat di republik ini sangat dekat. Aku yakin akan
sampai di sana.”
Enam bulan kemudian
kamu sampai di Medan. Setelah lelah berkeliling kota, esoknya kita ke Brastagi,
kemudian perjalanan berlanjut ke danau Toba. Kamu begitu gembira, memandang
danau Toba penuh kekaguman. Ternyata kamu batal ke sana waktu SMA.
Liburan semester tahun
kedua kuliah, aku membawamu ke rumah keluargaku di Jakarta. Dua minggu di sana
kita mengunjungi semua tempat yang selama ini hanya kamu kenal nama. Ke Taman Mini, Ancol,
Taman Safari, Kota Tua, Kebun Raya dan yang pasti tidak akan terlewatkan adalah
Monas. Di Monas kamu terpekur lama memandang puncaknya. Entah apa yang kamu
pikirkan. Aku tidak lagi mengusik dengan tanya.
Setelah puas mengelilingi Jakarta dan sekitarnya, bersama
keluargaku kita berangkat ke Bandung. Dua hari di sana, kita naik kereta api ke
Yogya. Itu merupakan pengalaman pertamamu naik kereta. Aku tidak tahu apa yang
kamu pikir dan rasakan. Yang jelas wajahmu menyiratkan kebahagiaan.
“Makasih, Lan. Ini
bukan sekedar liburan biasa. Ini adalah perjalanan meraih mimpi.” Kamu
mengatakan itu di pesawat dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh.
Kiranya itu adalah awal
dari perjalanan kamu, Fir. Karena selanjutnya kamu semakin sering bolak-balik
naik pesawat. Ke Riau, Bandung, Surabaya, bahkan Makasar. Keaktifanmu di beberapa
organisasi mahasiswa di kampus memungkinkan semua itu. Beberapa kali kamu
diutus mewakili kampus menghadiri beberapa event nasional.
Tahun
2009 kita lulus kuliah. Meskipun kamu sangat sibuk berorganisasi, aku senang
akhirnya kita bisa wisuda bareng. Tetapi sayangnya kebersamaan kita pun
berakhir. Aku pulang ke Jakarta dan mencoba peruntunganku di Ibukota. Setelah
beberapa bulan luntang lantung mencari pekerjaan, Alhamdulillah aku diterima
bekerja di salah satu kantor akuntan publik.
Sementara
itu komunikasi antara kita mulai jarang. Hingga kemudian putus sama sekali. Aku
memang salah tidak berinisiatif menghubungimu. Aku terlalu larut dalam
pekerjaan yang baru kugeluti, sedangkan waktu luang kuhabiskan untuk
bercengkerama dengan keluarga. Tapi bukankah biasanya kamu yang selalu duluan
menghubungiku untuk mencurahkan mimpi-mimpimu? Sejujurnya, diantara seabreg
kesibukan dan disela-sela pekerjaan, aku selalu menunggu sebaris sms, sebuah
email atau sekali saja panggilan telepon darimu. Ironis ya, teknologi
komunikasi yang semakin canggih justru makin membentangkan jarak diantara kita.
Padahal dulu sekurang-kurangnya sebulan sekali suratmu selalu menyapaku. Ada
apa denganmu, Fir? Ada apa dengan kita?
Pertanyaan
itu terjawab ketika suatu sore adikmu, Lina,
meneleponku. Ia terkejut ketika aku bilang tidak tahu menahu kabar
apapun tentangmu. Aku lebih terkejut lagi letika dia bilang kamu hijrah ke
Malaysia. Serasa ada petir yang menyambar. Bagaimana mungkin? Sehari setelah
wisuda kita sempat membicarakan masa depan. Aku tahu saudaramu banyak yang
sukses di negera jiran itu, tapi kamu sama sekali tidak menyinggung akan
mengikuti jejak mereka. Dengan semangat meluap kamu bilang akan berdikari di
negeri sendiri, membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja untuk banyak
orang. Mengapa kemudian kamu mengubah haluan, Fir?
Aku
mengirim beberpa email namun tak kunjung kamu balas. Sementara hatiku terus
didera rasa penasaran dan ribuan tanya yang tidak berjawab. Ada apa dengan
kamu, Fir? Apakah kamu telah melupakan impianmu? Atau yang lebih parah, apakah
kamu telah menggadaikan nasionalismemu?
Hampir
setahun berlalu. Hingga suatu malam aku terkejut menatap layar komputer. Sebuah
email baru masuk. Dari kamu.
Apa kabar, Lan?
Maaf, lama tidak memberi kabar. Kamu pasti sudah tahu
dimana aku sekarang. Tapi mungkin kamu belum tahu mengapa aku berada di
sini. Aku bisa menebak reaksi dan
ekspresimu mengetahui kabar tentangku. Aku mengerti. Itu bukan hal yang ingin
kamu dengar, tidak pernah terbayangkan olehmu.
Sejujurnya aku pun tak ingin di sini. Ini sama sekali
di luar rencana, tidak masuk dalam daftar impianku. Jikapun ada negeri lain
yang kuimpikan untuk kusinggahi, negeri itu berada di belahan bumi yang lain.
Negeri beriklim empat musim. Bukan negeri tetangga kita, Lan.
Tetapi aku juga tidak akan bilang terpaksa berada di
sini. Aku pergi secara sukarela untuk memuaskan keinginan ayah yang
menginginkan aku berwirausaha di sini mengikuti jejak abang yang sudah sukses.
Ada sejumlah argumen dari semua anggota keluarga yang tidak bisa kubantah. Aku
menurut dan memutuskan pergi. Kamu jangan berpikir aku telah mengubur impianku
di selat Malaka. Tidak, Lan. Impianku masih menjulang di puncak tertinggi Indonesia.
Cintaku pada Indonesia tidak pernah luntur. Semakmur apapun negeri orang, sehebat apapun, tetap tidak mampu
mengubahku apalagi membelotkan nasionalismeku. Aku selalu cinta Indonesia. Di sini aku sedang berjuang mengumpulkan pundi-pundi untuk
mewujudkan mimpi. Aku
menyadari satu hal, setinggi apapun aku bermimpi, tetap saja terbentur pada
kenyataan. Walau bagaimana kita tidak hidup di alam mimpi. Mimpi terus
dipelihara, sementara hidup juga harus terus berlanjut. Kesadaran itulah yang
menguatkanku untuk pergi sementara waktu.
Aku bertekad tidak akan terlalu lama di negara orang.
Secepatnya aku akan pulang. Anggap saja ini perjuangan menggapai impian. Insya
Allah dengan jumlah tabungan yang cukup, aku kan merintis usaha di tanah air,
lalu mengunjungi setiap sudut Indonesia. Dari kejauhan ini alam dan budaya Indonesia
mendayu-dayu memanggilku. Setiap malam sebelum terlelap, di ruang mataku selalu
terbentang peta Indonesia. Peta itu kemudian menyedotku ke alam mimpi. Mimpi
yang selalu sama. Keliling Indonesia. Tetapi ada yang berbeda dibandingkan
mimpi tahun-tahun sebelumnya. Aku tidak sendiri. Ada yang menemaniku menjelajah
negeri. Seorang gadis berkerudung. Sayang wajahnya tersamar sehingga aku tidak
bisa mengenali. Aku sangat berharap mimpi itu menjadi nyata dan perempuan itu
adalah kamu. Ya, kamu, Lan…
***
Kamulah sang pemimpi
itu, Fir. Aku cukup tersanjung menjadi bagian dari impianmu. Aku senang
beberapa persen impianmu sudah terwujud. Jangan menyerah. Teruslah berjuang tak
peduli dimanapun kamu berada sekarang. Dekaplah Indonesia kemanapun kakimu
melangkah. Aku yakin sejauh apapun kamu pergi, cintamu pada negeri ini akan
membawamu kembali. Semoga kamu cepat kembali. Bukan sekedar untuk memujudkan mimpi. Ada yang tak kalah penting
dari itu. Mengabdi pada negeri.
Di sini aku setia menunggu kamu pulang menjemput
impian.
***