Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 19 Agustus 2015

Mimpi Anak Negeri



              Aku tahu kamu akan pulang. Aku selalu menunggu hari itu tiba. Email-email darimu yang sayangnya makin jarang akhir-akhir ini selalu menjanjikan itu. Kamu akan pulang ke tanah tumpah darah, tanah air kita tercinta, Indonesia. Saat ini tidak ada seorang pun yang bisa memaksamu pulang setelah mereka mencecarmu untuk pergi. Aku tahu kau akan menemukan jalan untuk pulang. Ketika ibu pertiwi memanggilmu, kamu takkan pernah bisa menampik suara itu.Suara hatimu, bait-bait rindu untuk negeri.
            Sekarang ini biarlah kupuaskan hati dengan membaca kembali surat-suratmu. Surat yang rutin kamu kirimkan sejak kita berpisah dulu. Untaian kata yang selalu membuatku kagum sekaligus terheran-heran. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari hatimu yang saat itu masih bocah yang baru menginjak kelas satu SMP, lalu kau torehkan ke atas kertas yang ditujukan padaku. Bagaimanapun aku tersanjung, sebab hanya aku yang kau percayai untuk menampung curahan hatimu yang begitu dalam. Tentang suatu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh anak anak lain.

Sigli, November 1999
            Aku mencintai negeri ini, Lan. Cinta sepenuh jiwa raga. Tidak ada sesuatu pun yang bisa merenggut cinta itu dariku. Tidak juga situasi yang sedang memanas di daerahku akhir-akhir ini. Aku tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ada satu kata yang begitu sering disebut-sebut, ditulis di tembok, spanduk bahkan di badan-badan jalan. REFERENDUM. Sepuluh huruf itu membuatku takut. Bagaimana jika kata itu menjadi kenyataan? Bagaimana jika cinta itu direnggut paksa dariku? Aku sungguh tidak siap, Lan. Aku tidak mau menjadi orang asing di negeriku sendiri. Tapi aku juga tidak mau menjadi orang asing di tanah ini. Lan, beri aku pilihan.
            Meskipun aku tinggal di daerah konflik, yang nasionalismenya mungkin patut dipertanyakan, tetapi jangan pernah pertanyakan hal itu padaku. Merah putih itu telah menyatu dalam diriku. Jika Gajah Mada pernah bersumpah hendak menyatukan nusantara, aku punya mimpi mengelilingi Indonesia. Indonesia kita, Lan. Kamu catat impianku ini ya.
***
Sigli, Agustus 2003
            Cintaku untuk Indonesia tidak perlu kau ragukan lagi, Lan. Aku selalu mencintai negeri ini. Bahkan ditengah desing peluru yang merenggut nyawa saudaraku dan  mengganggu keamanan dan ketentraman hidupku, aku senantiasa melafazkan cinta itu. Tak pernah sekalipun ada antipati untuk negeri yang telah mengirim peluru itu kepada kami. Memang pernah sekali waktu aku mempertanyakan. Adakah negeri ini mencintaiku sebagaimana aku mencintainya?
            Tapi pertanyaan itu hilang disapu angin kala aku menatap merah putih yang berkibar di sepanjang jalan sejak awal Juli. Aku belum memberikan apa-apa untuk negeri ini. Hanya cinta. Itupun kusembunyikan rapat-rapat (hanya kau saja yang tahu, Lan). Bagaimana dengan para pejuang yang menegakkan merah putih kokoh berdiri? Mereka tak hanya memberikan cinta, tapi juga menyumbangkan jiwa raga.
Cinta itu kian subur menyemai mimpiku. Aku akan mengelilingi Indonesia! Aku telah menjejaki kilometer nol Indonesia di Sabang. Sabang pulau yang indah. Panorama lautnya begitu memukau. Aku belum pernah menjumpai pantai seindah ini. Tapi nanti aku pasti akan menapaki lebih banyak pantai yang indah. Aku akan ke Bali. Menikmati sunset di Kuta. Juga menyusuri Sanur dan tidak lupa aku akan ke pantai Lovina. Di sana kan kutuliskan cinta. Love Indonesia. Lalu aku kan menyeberang ke Lombok. Tak sabar menikmati indahnya pantai Senggigi. Di lain waktu aku juga akan ke Bunaken. Taman lautnya begitu termasyur.
Tak terhitung banyaknya pantai di negeri tercinta ini juga pulau, gunung dan danau. Nah, aku penasaran dengan yang namanya danau, Lan. Ingin sekali melihatnya secara nyata. Alam Indonesia memiliki banyak danau. Aku harus mengunjungi beberapa diantaranya. Peluang terbesarku adalah ke danau Laut tawar di Aceh Tengah yang sangat mungkin untuk kujangkau. Tahun depan sekolahku berencana tour ke danau Toba. Asyik...aku begitu ingin mengecipakkan kaki di air danau terbesar di Indonesia tersebut. Betapa aku ingin ke sana. Tak sabar menunggu saat itu tiba.
Jangan bangunkan aku, Lan. Mimpi itu begitu indah. Aku ingin menjejakkan kaki di semua daerah Indonesia. Dari ibukota provinsi hingga pelosok pedesaan. Dari ujung Aceh, kilometer nol di Sabang,  hingga kilometer tekahir jengkal tanah Indonesia di papua. Aceh dan papua adalah tiang tonggak, tempat tali persaudaraan dan persatuan kita sebagai satu bangsa disimpulkan dan diikatkan. Tiang itu harus selalu kokoh, karena jika salah satu  rapuh banyak hal yang dipertaruhkan. Kita tentu tak pernah mau itu terjadi.
***
Itulah surat terakhir yang aku terima dari kamu, Fir, hingga akhirnya kita bertemu kembali. Dengan seizin papa aku kembali ke Aceh dan melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Aceh sudah kondusif, setelah dilanda tsunami yang akhirnya berujung perdamaian. Kita bersama lagi merangkai hari-hari seperti masa kecil dulu. Libur akhir pekan kita sering menyempatkan pulang ke Sigli.  Tentu saja aku pulang ke rumahmu karena rumahku yang letaknya persis di depan rumahmu telah dijual ketika kami pindah ke Jakarta. Serpihan kenangan masa kecil kita berserakan di antara kedua rumah itu. Dengan setia aku memungutnya dan menyimpan kembali di hatiku.
Tak ada yang berubah. Kamu masih sering membicarakan impian-impianmu, harapan-harapanmu. Semua tentang Indonesia. Nasionalismemu masih melekat erat.  Dan aku selalu menjadi pendengarmu yang budiman. Tiga kali aku menjadi saksi kebahagiaanmu menggapai nol koma sekian persen mimpi. Waktu kita liburan ke Sabang, Medan dan Jakarta. Dua kota itu sudah sangat biasa bagiku, sementara bagimu bisa ke sana adalah perwujudan sebuah impian.
Di Sabang kamu bebas berekspresi di pantai Iboih yang pemandangannya begitu indah. Juga berenang dan menyelam di pantai Gapang. Tak lupa kita pergi ke tugu kilometer nol. Aku mengabadikanmu dalam beberapa foto . Di depan tugu itu kamu termangu lama.
“Ada apa, Fir?”
Kamu tersentak mendengar pertanyaanku.”Aku melihat Indonesia dari sudut ini, Lan. Dan aku melihat jarakku dengan semua tempat di republik ini sangat dekat. Aku yakin akan sampai di sana.”
Enam bulan kemudian kamu sampai di Medan. Setelah lelah berkeliling kota, esoknya kita ke Brastagi, kemudian perjalanan berlanjut ke danau Toba. Kamu begitu gembira, memandang danau Toba penuh kekaguman. Ternyata kamu batal ke sana waktu SMA.
Liburan semester tahun kedua kuliah, aku membawamu ke rumah keluargaku di Jakarta. Dua minggu di sana kita mengunjungi semua tempat yang selama ini hanya kamu kenal nama. Ke Taman Mini, Ancol, Taman Safari, Kota Tua, Kebun Raya dan yang pasti tidak akan terlewatkan adalah Monas. Di Monas kamu terpekur lama memandang puncaknya. Entah apa yang kamu pikirkan. Aku tidak lagi mengusik dengan tanya.
Setelah puas mengelilingi Jakarta dan sekitarnya, bersama keluargaku kita berangkat ke Bandung. Dua hari di sana, kita naik kereta api ke Yogya. Itu merupakan pengalaman pertamamu naik kereta. Aku tidak tahu apa yang kamu pikir dan rasakan. Yang jelas wajahmu menyiratkan kebahagiaan.
“Makasih, Lan. Ini bukan sekedar liburan biasa. Ini adalah perjalanan meraih mimpi.” Kamu mengatakan itu di pesawat dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh.
Kiranya itu adalah awal dari perjalanan kamu, Fir. Karena selanjutnya kamu semakin sering bolak-balik naik pesawat. Ke Riau, Bandung, Surabaya, bahkan Makasar. Keaktifanmu di beberapa organisasi mahasiswa di kampus memungkinkan semua itu. Beberapa kali kamu diutus mewakili kampus menghadiri beberapa event nasional.
Tahun 2009 kita lulus kuliah. Meskipun kamu sangat sibuk berorganisasi, aku senang akhirnya kita bisa wisuda bareng. Tetapi sayangnya kebersamaan kita pun berakhir. Aku pulang ke Jakarta dan mencoba peruntunganku di Ibukota. Setelah beberapa bulan luntang lantung mencari pekerjaan, Alhamdulillah aku diterima bekerja di salah satu kantor akuntan publik.
Sementara itu komunikasi antara kita mulai jarang. Hingga kemudian putus sama sekali. Aku memang salah tidak berinisiatif menghubungimu. Aku terlalu larut dalam pekerjaan yang baru kugeluti, sedangkan waktu luang kuhabiskan untuk bercengkerama dengan keluarga. Tapi bukankah biasanya kamu yang selalu duluan menghubungiku untuk mencurahkan mimpi-mimpimu? Sejujurnya, diantara seabreg kesibukan dan disela-sela pekerjaan, aku selalu menunggu sebaris sms, sebuah email atau sekali saja panggilan telepon darimu. Ironis ya, teknologi komunikasi yang semakin canggih justru makin membentangkan jarak diantara kita. Padahal dulu sekurang-kurangnya sebulan sekali suratmu selalu menyapaku. Ada apa denganmu, Fir? Ada apa dengan kita?
Pertanyaan itu terjawab ketika suatu sore adikmu, Lina,  meneleponku. Ia terkejut ketika aku bilang tidak tahu menahu kabar apapun tentangmu. Aku lebih terkejut lagi letika dia bilang kamu hijrah ke Malaysia. Serasa ada petir yang menyambar. Bagaimana mungkin? Sehari setelah wisuda kita sempat membicarakan masa depan. Aku tahu saudaramu banyak yang sukses di negera jiran itu, tapi kamu sama sekali tidak menyinggung akan mengikuti jejak mereka. Dengan semangat meluap kamu bilang akan berdikari di negeri sendiri, membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja untuk banyak orang. Mengapa kemudian kamu mengubah haluan, Fir?
Aku mengirim beberpa email namun tak kunjung kamu balas. Sementara hatiku terus didera rasa penasaran dan ribuan tanya yang tidak berjawab. Ada apa dengan kamu, Fir? Apakah kamu telah melupakan impianmu? Atau yang lebih parah, apakah kamu telah menggadaikan nasionalismemu?
Hampir setahun berlalu. Hingga suatu malam aku terkejut menatap layar komputer. Sebuah email baru masuk. Dari kamu.
Apa kabar, Lan?
Maaf, lama tidak memberi kabar. Kamu pasti sudah tahu dimana aku sekarang. Tapi mungkin kamu belum tahu mengapa aku berada di sini.  Aku bisa menebak reaksi dan ekspresimu mengetahui kabar tentangku. Aku mengerti. Itu bukan hal yang ingin kamu dengar, tidak pernah terbayangkan olehmu.
Sejujurnya aku pun tak ingin di sini. Ini sama sekali di luar rencana, tidak masuk dalam daftar impianku. Jikapun ada negeri lain yang kuimpikan untuk kusinggahi, negeri itu berada di belahan bumi yang lain. Negeri beriklim empat musim. Bukan negeri tetangga kita, Lan.
Tetapi aku juga tidak akan bilang terpaksa berada di sini. Aku pergi secara sukarela untuk memuaskan keinginan ayah yang menginginkan aku berwirausaha di sini mengikuti jejak abang yang sudah sukses. Ada sejumlah argumen dari semua anggota keluarga yang tidak bisa kubantah. Aku menurut dan memutuskan pergi. Kamu jangan berpikir aku telah mengubur impianku di selat Malaka. Tidak, Lan. Impianku masih menjulang di puncak tertinggi Indonesia. Cintaku pada Indonesia tidak pernah luntur. Semakmur apapun negeri orang, sehebat apapun, tetap tidak mampu mengubahku apalagi membelotkan nasionalismeku. Aku selalu cinta Indonesia. Di sini aku sedang  berjuang mengumpulkan pundi-pundi untuk mewujudkan mimpi. Aku menyadari satu hal, setinggi apapun aku bermimpi, tetap saja terbentur pada kenyataan. Walau bagaimana kita tidak hidup di alam mimpi. Mimpi terus dipelihara, sementara hidup juga harus terus berlanjut. Kesadaran itulah yang menguatkanku untuk pergi sementara waktu.
Aku bertekad tidak akan terlalu lama di negara orang. Secepatnya aku akan pulang. Anggap saja ini perjuangan menggapai impian. Insya Allah dengan jumlah tabungan yang cukup, aku kan merintis usaha di tanah air, lalu mengunjungi setiap sudut Indonesia. Dari kejauhan ini alam dan budaya Indonesia mendayu-dayu memanggilku. Setiap malam sebelum terlelap, di ruang mataku selalu terbentang peta Indonesia. Peta itu kemudian menyedotku ke alam mimpi. Mimpi yang selalu sama. Keliling Indonesia. Tetapi ada yang berbeda dibandingkan mimpi tahun-tahun sebelumnya. Aku tidak sendiri. Ada yang menemaniku menjelajah negeri. Seorang gadis berkerudung. Sayang wajahnya tersamar sehingga aku tidak bisa mengenali. Aku sangat berharap mimpi itu menjadi nyata dan perempuan itu adalah kamu. Ya, kamu, Lan…
***
Kamulah sang pemimpi itu, Fir. Aku cukup tersanjung menjadi bagian dari impianmu. Aku senang beberapa persen impianmu sudah terwujud. Jangan menyerah. Teruslah berjuang tak peduli dimanapun kamu berada sekarang. Dekaplah Indonesia kemanapun kakimu melangkah. Aku yakin sejauh apapun kamu pergi, cintamu pada negeri ini akan membawamu kembali. Semoga kamu cepat kembali. Bukan sekedar untuk  memujudkan mimpi. Ada yang tak kalah penting dari itu. Mengabdi pada negeri.
Di sini  aku setia menunggu kamu pulang menjemput impian.
 ***

Jumat, 26 Juni 2015

Buku Ayah, Haru Biru Cinta Sejati





Andrea kembali hadir menyapa penggemar karya-karyanya lewat buku terbaru “Ayah”. Saya pertama kali mengetahui tentang buku ini dari akun sosmed Penerbitnya, Bentang Pustaka. Langsung antusias. Begitu PO nya dibuka, saya segera memesan di TBO langganan. Selain bisa baca lebih cepat (sehari sebelum rilis bukunya udah nyampe di tangan), bonus tanda tangan penulis juga menggiurkan.
Ayah berkisah tentang cinta sejati. Cinta seorang lelaki yang tidak berbalas, juga cinta seorang ayah yang tidak terbatas.

Sabari tidak peduli akan cinta dan selalu meledek kawan-kawannya yang jatuh cinta pada banyak wanita. Hingga suatu hari, ujian masuk SMA mengubahnya. Seorang gadis mencontek lembaran jawabannya dan meninggalkan sebatang pensil untuk Sabari. Pensil itu kemudian menemani malam-malam sabari melamunkan Purnama Dua Belas yang dicintainya. Ia jatuh cinta, pada Marlena si Purnama Dua Belas, sang pemilik pensil.
Sayangnya Marlena tidak pernah peduli padanya. Segala upaya dilakukan Sabari untuk merebut hati Marlena namun tidak pernah berhasil. Sebaliknya Marlena makin beci pada Sabari. Walaupun begitu Sabari tidak dapat berhenti mencintainya tak peduli tahun demi tahun berlalu. Sabari terus memperjuangkan cintanya. Hingga kemudian Sabari bekerja di tempat ayah Marlena hanya untuk bisa melihat Marlena setiap harinya. Sabari bahkan menawarkan diri menikahi Marlena yang hamil akibat pergaulan bebas. Demi cinta ia rela menumbalkan diri. Pernikahan pun berlangsung meski Marlena tetap tidak sedikit pun peduli pada keberadaan Sabari.

Sabari begitu gembira ketika Marlena melahirkan. Ia yang merawat dan mengasuh bayi yang dia namakan Zorro. Sabari yang menyukai puisi mengajarkan kata-kata pada anaknya. Dia rajin membacakan cerita. Sabari menemukan kebahagiaan sari perannya sebagai ayah sekaligus ibu bagi Zorro. Tetapi kebahagiaan itu tidak lama. Marlena menggugat cerai Sabari, lalu membawa pergi Zorro.
Ditinggal Zorro, hidup Sabari terjungkal. Ia dilanda kesedihan mendalam dan perlahan-lahan menarik diri dari lingkungan. Ia menjadi separuh tak waras. Dua sahabatnya, Tamat dan Ukun tidak tega melihat kondisi Sabari. Mereka memutuskan mencari Marlena dan Zorro. Dan kisah itu berakhir indah.

Andrea bercerita dengan gayanya yang khas. Banyak selipan ‘kata-kata cerdas’ dan tak ketinggalan humor-humor segar. Buku ini selain menghadirkan kisah yang menyentuh dan menghibur juga menyelipkan banyak makna dan pesan. Menganjurkan kita untuk menyukai puisi dan sastra, melakukan perjalanan (traveler), serta menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Saya sendiri sangat terkesan dan klik dengan penggambaran sahabat pena dan Lady Diana. Dikisahkan Marlena gemar bersahabat pena. Dalam pelariannya ia mengunjungi para sahabat penanya. Ini mengingatkan saya akan kegemaran bersahabat pena semasa kecil yang sayangnya kini tidak lagi dilakukan.
Kampung tempat Tamat dan Ukun menemukan Marlena dan Zorro, para penduduknya sangat mencintai Lady Diana. Dulu di masa kecil aku juga sangat mengagumi sosok Putri Diana. Jadi saya merasa ada keterkaitan nostalgia.. hehehe.. :D

“Biarkan aku mencintaimu, dan biarkan waktu menguji”
“Hidup ini dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tidak menginginkan kita, dan sebaliknya.”
“Jangan bersedih, waktu mengambil seorang sahabat. Waktu akan menggantikannya dengan sahabat yang lain. Berdamailah dengan waktu karena waktu akan menumbuhkan dan menyembuhkan”
“Mereka menemukan kesan yang amat baik tetntang sahabat pena. Mengapa dewasa ini tiada lagi orang yang bersahabat pena?”