Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 28 Desember 2012

Catatan Akhir Tahun



Berselang tiga hari dari pergantian tahun.
Aku mencoba beristirahat sejenak dari penatnya hari yang kulalui. Melihat ke belakang.
Perjalanan hidupku sepanjang tahun ini, dari Januari hingga menjelang akhir Desember.
Banyak hal terjadi. Beragam kisah kulalui. Entah bagaimana mendefinisikan tahun ini.
Tidak sepenuhnya bahagia. Meski tidak juga berpeluh duka.
Tetapi ketika melihat lagi, mencerna kembali perjalanan hari-hari.
Ternyata andai mungkin, banyak hal yang harus kuubah. Terlalu banyak yang ingin kuperbaiki.

Tiba di titik ini, tiga hari menjelang pergantian tahun.
Setelah mengkilas balik perjalanan hidup sepanjang tahun ini, bahkan tahun-tahun sebelumnya,
Aku menyadari banyak hal. Juga menyesali banyak hal. Kesadaran selalu menimbulkan penyesalan.
Ternyata dari tahun ke tahun aku tetap tidak berubah.
Mengawali tahun baru dengan semangat menggebu. Memancangkan tekad sekuat-kuatnya, mengobarkan semangat membara. Kemudian perlahan seiring berlalunya hari-hari, tekad itu mengendur, semangat itu meredup.
Dan akhirnya tekad itu keropos dan semangat itu padam tanpa kusadari, seiring satu persatu tanggal rontok dari kalender.
Aku hanya termangu menyesali keadaan. Semua waktu yang kupersiakan tidak akan pernah kembali.

Selalu begitu.
Setelah terpuruk dalam lembah penyesalan.Aku menyalakan lagi obor  semangat, membuka lagi lembaran mimpi. Tidak, aku tak kan menyerah. Aku kan memulai semuanya lagi tahun depan.
Dan resolusi berlembar-lembar pun tertuang. Aku harus begini aku harus begitu. Tetapi entah mengapa resolusi itu hanya tercantum manis di atas kertas. Tidak pernah berwujud nyata.

Tidak. Tahun depan tidak akan begitu. Aku harus lebih baik.  Harus ada karya yang berwujud nyata. Setidak-tidaknya harus ada satu impian yang berhasil kuwujudkan.
Semoga bisa!!!
Kembali kupancangkan tekad. Obor semangat berkobar lagi.

Di luar semua harapan yang tidak selaras dengan kenyataan, sesungguhnya hidupku bahagia kok. Sungguh. Aku memang tidak dapat merengkuh semua yang kuinginkan. Tetapi aku memiliki apa yang sesungguhnya kubutuhkan. Maka nikmat Allah yang manakah yang hendak kudustakan?
Tetapi tetap saja aku bingung menyimpulkan warna hidupku tahun ini.

Di luar semua itu. Selain semua tentang diriku. Ada hal lain yang sangat mengganggu. kenyataan pahit di depan mataku tahun ini.
Tentang orang-orang di sekitarku.
Mereka yang selama ini kukagumi dan kuidolakan ternyata tak seperti yang kupikirkan.
Mereka seperti menjelma menjadi orang asing dari negeri yang asing.
Apakah selama ini aku melihat wajah-wajah bertopeng? Ataukah penglihatanku yang tidak peka.
Oh, entahlah…
Aku takut sedang memakai topeng yang sama.
Dan wajah asliku akan tersingkap begitu berada di posisi mereka.
Ya Allah, hamba mohon ampun. Mohon lindungilah hambaMu yang lemah ini dari godaan syeitan yang terkutuk.
 Aamiien .

Dipenghujung tulisan ini, aku kutip kata-kata Pak Mario Teguh yang sangat sesuai dengan kondisiku sekarang, dan mungkin kondisi kebanyakan kita.

Sahabatku yang baik hatinya, di hari Kamis pagi yang semakin mendekatkan kita ke akhir tahun 2012 ini, katakanlah ini sebagai kalimatmu sendiri ...

Tuhanku Yang Maha Sejahtera,
Aku telah sering berjanji, dalam resolusi yang hebat di setiap awal tahun, yang gemerlap dengan tingginya impian, dan membara dengan hebatnya semangat.
Engkau telah menyaksikanku membolak-balikkan badanku di malam-malam yang tak bertidur, mengkhayalkan kebesaran hidup, merincikan rencana pencapaian kehebatan diriku, dan membayangkan kenikmatan dari kehidupan yang lebih berkelas.

Tapi,
Engkau telah juga menyaksikan bagaimana aku lupa, bahkan melupakan diri, dari janji dan resolusiku – bukan hanya tahun ini, tapi di tahun-tahun yang berulang sebelum ini.
Kehebatanku untuk bermimpi, tak sehebat kemampuanku untuk menunda.
Apakah itu sebabnya aku sulit mempercayai diriku sendiri?
Dan apakah itu yang mendasari kegalauanku mengenai masa depanku, karena aku mempercayakan hidupku kepada orang yang tidak menghormati janjinya kepada dirinya sendiri?

Tuhanku Yang Maha Melapangkan,
Aku mohon maaf atas kesantaianku mengenai penggunaan waktu dalam hidupku.
Waktu adalah komponen pembentuk kehidupanku. Maka jika aku menyia-nyiakan waktu, sesungguhnya aku menyia-nyiakan kehidupanku.
Aku mohon Engkau mentenagai ketegasanku untuk segera melakukan yang telah kuniatkan, untuk menyelesaikan tugasku, dan untuk hidup sesuai dengan rencana dan doaku.
Cegahlah aku dari menginginkan satu hal, tapi melakukan hal lain yang menjauhkanku dari kemampuan, dari kemapanan, dan dari kesejahteraan.
Tuhan, dampingilah upayaku untuk menjadi pribadi yang lebih menghormati janjiku kepada diriku sendiri.

Aamiin

Minggu, 09 Desember 2012

Untuk sahabat



Untuk sahabatku tersayang, Cut Ita
Sepenuh cinta untukmu, sahabat. Apa kabarmu di sana? Maafkanku mengusik ketenanganmu. Aku ingin kamu tahu, di sini aku selalu merindukanmu. Kenangan kita terus membayangi hidupku. Tak sehari pun aku hidup tanpa mengingatmu. Kamu juga masih sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Izinkan aku jujur mencurahkan isi hatiku tentangmu, tentang persahabatan kita. Hal yang tak pernah kau dengar seumur hidupmu.

Beragam kisah telah kita torehkan. Menggumpal-ngumpal dalam baluran kenangan.  Ada ceria, mendominasi. Di saat lain duka mengambil alih kondisi. Ada saatnya kita tersenyum, tertawa lepas. Di saat lain air mata menetes, tangis pilu tumpah. Persahabatan kita hanya berusia enam belas tahun. Empat  tahun lalu engkau pergi, aku tak berdaya mencegah. Duka teramat dalam menggores hati. Sampai hari ini aku masih berharap  kamu akan kembali, tapi itu mustahil terjadi.  Jauh panggang dari api.

Cut Ita sahabatku sayang, kamu adalah sahabat terbaik dalam hidupku. Memang sejujurnya kuakui aku juga mengatakan hal yang sama pada beberapa sahabat dekatku. Namun sejatinya, kamulah sahabat terbaikku.

Selama enam belas tahun persahabatan kita, tak kupungkiri aku sering menorehkan luka. Kau pernah kecewa padaku, aku pernah bersikap tidak adil padamu, mengabaikanmu. Bahkan aku pernah mempertanyakan kesejatian persahabatan kita. Setelah kau pergi barulah kusadari engkaulah sahabat sejatiku, sahabat terbaik dalam hidupku. Memang, kita baru merasakan kehilangan seseorang atau sesuatu setelah dia pergi.
Dalam beberapa tahun terakhir kita jarang bersama. Menginjak bangku SMA persahabatan kita sempat renggang. Kau lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temanmu dan aku melewatkan hari bersama teman-temanku. Aku sedih merasa kehilanganmu. Saat itulah hatiku bertanya, benarkah kamu sahabat sejati?

Kau menjawab keraguanku pada hari ulang tahunmu yang ke 17. Kau mengadakan syukuran dengan mengundang beberapa orang teman dekat. Aku salah satu tamu yang wajib datang, katamu. Tapi aku enggan untuk datang, takut tersisih diantara teman-temanmu. Karena itu kuputuskan datang telat, hampir satu jam dari jadwal di undanganmu. Apa yang kulihat? Acara belum mulai, sementara semua orang telah berkumpul. “aku tidak akan memulai acara tanpamu,”ujarmu tulus. Aku terharu dan merasa bersalah. Bagaimana aku bisa berpikir kau akan menyisihkanku? Begitulah kau selalu berpikir positif tentangku, sementara aku terkadang berpikir sebaliknya tentangmu.

Kau seperti buku yang terbuka. Membiarkan aku membaca hatimu. Tak ada yang kau sembunyikan dariku. Itu katamu dan aku percaya. Aku bahkan mengenalmu lebih dari mengenal diri sendiri. Suatu hari kau pernah mengeluh mengenai sifatku yang tertutup. Aku sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah mengumbar masalah pribadiku padamu atau pada siapapun. Hanya yang kupikir pantas untuk kau dengar saja yang kuceritakan. Kau sangat keberatan dengan ketertutupanku, tapi tokh persahabatan kita terus berlanjut dan tidak terganggu karenanya.

Dua tahun sebelum kau pergi, dalam kado ulang tahun untukku yang ke duapuluh, kau selipkan berlembar-lembar surat curahan hatimu. Sebuah kalimat yang selalu ku ingat ‘Aku bukan lagi Cut Itamu yang dulu’. Suratmu yang panjang itu menceritakan kesedihan yang kau jalani, kisah hidup yang tidak kau ingini.

Maafkan aku, kawan. Mungkin aku bukan sahabat yang baik untukmu. Aku tidak ada saat kamu dirundung duka. Aku tidak ada saat kamu butuh bahu untuk bersandar. Aku tidak ada saat kau butuh teman curhat kala hatimu gundah. Bertahun-tahun aku bertanya benarkah kamu sahabat sejatiku, sementara aku lupa menanyakan pada diri sendiri benarkah aku sahabat sejatimu? Kau dengan terbuka selalu mengatakan dalam surat-suratmu maupun dalam ucapan sambil lalu bahwa akulah sahabat terbaikmu. Sedangkan aku selalu ragu mengakui bahwa kamulah sahabat terbaikku. Masih diperlukankah pengakuan itu?


Jumat, 07 Desember 2012

Surat Untuk Dahlan Iskan

Tulisan ini awalnya hendak saya ikutkan dalam lomba 'Menulis Surat untuk Dahlan' yang diselenggarakan oleh Noura Books. Tetapi karena kesalahan teknis surat tersebut tidak terkirim ke panitia. saya mengirimnya di hari terakhir tanpa sempat cek and ricek lagi. Baru keesokan harinya saya melihat failure notice. Ya sudahlah..




Assalamu’alaikum..
          Saya awali surat ini dengan seuntai harapan, semoga Bapak selalu dalam keadaan sehat lahir batin sehingga dapat senantiasa mengemban amanah negara, memberikan kontribusi terbaik kepada masyarakat Indonesia.
          Nama Dahlan Iskan sekarang begitu tenar, fenomenal dan juga kontroversial. Bapak seperti selebritas panggung politik Indonesia. Bapak merupakan figur langka ditengah carut marutnya tokoh nasional kita. Sosok Bapak sangat inspiratif, tetapi di sisi lain juga mengundang kontroversi. Namun saya percaya Bapak tulus. Apa yang telah Bapak lakukan selama ini sekontroversial apapun, merupakan dedikasi untuk negeri. Semata-mata dorongan dari nurani, bukan pencitraan apalagi untuk mendongkrak popularitas seperti yang digembor-gemborkan sebagian kalangan.
          Saya percaya pada Bapak. Karena itu saya ingin berbagi cerita, tentang beberapa impian saya. Sudikah bapak membacanya? Seperti bapak, seperti semua orang, saya juga punya impian. Impian yang saya semai sejak kecil, saya pupuk, semakin subur dari hari ke hari. Dan kini pohon impian itu menjulang tinggi. Masalahnya pak, saya hanya berani bermimpi dan tidak punya keberanian untuk mewujudkannya. Mimpi saya yang menjulang tinggi itu masih bertahan berada di awang-awang. Belum menginjak bumi. Apalagi berwujud nyata.
          Seumur hidup saya yang sudah menginjak usia 26 tahun sekarang, begitu banyak impian yang bertaburan. Diantara sekian banyak impian saya, dua yang masih bertahan hingga sekarang mengikuti kemana pun saya pergi. Pernah membuat saya begitu bersemangat. Ironisnya juga pernah membuat saya terpuruk dalam keputusasaan, terperosok dalam jurang pesimis penuh kekecewaan. Mengapa begitu sulit menyetir hidup kita sendiri?
          Impian pertama saya adalah menjadi penulis, menulis dan menerbitkan buku yang dibaca banyak orang. Ini adalah impian saya sejak kecil. Berawal dari kegemaran membaca majalah anak-anak . Saya menyukai cerita di sana dan mencoba menulis sendiri. Hanya segelintir orang terdekat yang mengetahui kegemaran saya menulis. Dari segelintir orang itu, hanya dua orang yang pernah membaca tulisan saya, yaitu kakak dan sahabat dekat sejak SD. Keduanya memberi komentar positif yang mendukung semangat saya menulis. Tetapi mereka tidak pernah tahu bahwa menjadi penulis merupakan impian yang telah mengkristal dalam benak saya.
          Dalam diam saya terus menulis. Bisa dibilang dari kelas lima SD hingga SMA adalah masa-masa produktif saya menulis. Banyak cerpen dan puisi yang tercipta, yang sayangnya berakhir dalam sebuah kardus di kolong tempat tidur. Ketika saya membaca tulisan-tulisan penulis yang sudah punya nama, hati ini terasa kecut dan ciut. Rasa minder menggerogoti semua rasa percaya diri yang memang cuma secuil kumiliki. Tulisan saya  tidak sebagus mereka, sangat tidak sebanding. Kualitas saya jauh di bawah.
          Menginjak bangku kuliah hasrat menjadi penulis kian menggebu. Saya sempat bergabung dengan dengan sebuah organisasi kepenulisan. Tapi langkah saya mentok. Virus malas selalu menyerang. Membuatku patah semangat duluan. Hingga lulus kuliah, saya masih pulas dibalik selimut mimpi menjadi penulis.
          Diulang tahun yang ke 25, perlahan saya terjaga. Bangun dari tidur panjang, terkaget-kaget melihat kenyataan. Usia sudah seperempat abad, tetapi saya masih bukan siapa-siapa. Tidak ada karya nyata, hanya mimpi yang kian erat tergenggam. Sebuah kesadaran baru terbit di hati. Tanpa perjuangan dan kerja keras mimpi selamanya akan menjadi impian. Saya harus bangkit.
          Maka saya kembali menulis. Meski dalam perjalanannya tidak semudah yang saya tekadkan. Selalu ada rintangan. Parahnya rintangan terbesar justru datang dari dalam diri sendiri. Sangat susah mendisiplinkan diri sendiri, Pak.  Saya mencoba mengikuti berbagai lomba menulis. Hasilnya? Sepertinya perjuangan saya masih akan panjang dan berliku. Saya harus terus semangat. Alhamdulillah, satu-satunya pencapaian yang lumayan adalah ketika akhir tahun 2011 lalu saya ikut lomba menulis surat untuk ibu yang diadakan oleh salah satu self publishing. Surat saya menjadi salah satu yang terpilih. Saya menangis haru ketika memegang buku yang di dalamnya tertulis nama saya, tulisan saya ada di sana. Jalan menjadi penulis mulai tersibak. Dengan semangat, ketekunan, dan kegigihan Insya Allah jalan itu akan terbuka lebar. Satu impian akan menjadi kenyataan.
          Selain menjadi penulis saya masih memendam satu impian lagi, Pak. Yang ini benar-benar mimpi yang terlalu tinggi buat saya. Kuliah gratis keluar negeri, alias memperoleh beasiswa. Yang ini impian ganda,Pak. Kuliah keluar negeri adalah impian sejak lama. Namun saya sangat tahu diri, keuangan saya sungguh tidak akan mencukupi. Impian selanjutnya pun tercipta yaitu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bagaimana menurut Bapak? Apakah itu mungkin? Terlalu mulukkah impian saya? Saya sempat pesimis, Pak. Kemampuan bahasa Inggris saya masih sangat kurang. Beberapa bulan lalu saya pernah mendaftar beasiswa ke luar negeri dari Pemerintah Aceh. Tapi saya gagal karena nilai TOEFL tidak mencukupi. Walaubegitu saya tidak akan menyerah, Pak. Masa-masa gelap ketika saya begitu putus asa dengan impian saya telah berakhir. “Jika semua yang kita kehendaki terus kita miliki, darimana kita belajar ikhlas. Jika semua yang kita impikan segera terwujud, darimana kita belajar sabar. Jika setiap doa kita terus dikabulkan, bagaimana kita dapat belajar ikhtiar.” Kata-kata Bapak itu telah melecut semangat saya untuk tidak putus asa apalagi sampai menyerah.
Saya bertekad untuk belajar Bahasa Inggris dengan lebih intensif. Saya sudah mengatur jadwal, waktu untuk menulis dan waktu untuk serius belajar bahasa Inggris. Juga makin aktif searching beasiswa dari internet dan bergabung dengan beberapa milis beasiswa . Buku ‘Sepatu Dahlan’ menginspirasi saya untuk percaya pada kekuatan mimpi. Saya kagum pada kisah hidup Bapak, yang dengan keuletan, kegigihan dan kesabaran mengantar Bapak menjadi seorang Dahlan Iskan hari ini. Saya meyakinkan diri, suatu saat saya akan sampai di Eropa, atau Amerika, atau Australia. Tiga wilayah yang sering menjelma dalam mimpi saya. Dan di sana saya akan menulis buku-buku saya, menulis hidup saya, menulis Indonesia kita.
          Demikian, Pak, sekelumit impian saya. Figur Bapak ikut mendongkrak semangat saya. Keberhasilan Bapak mewujudkan mimpi memacu saya untuk terus berjuang. Impian memang harus diperjuangkan. Karena seperti kata Bapak “orang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan, mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan & air mata.” Saya percaya, dengan kegigihan, kesabaran yang diiringi doa, insya Allah, semua cita-cita, harapan dan impian akan menjadi kenyataan. Saya percaya, sangat percaya, dengan izin Allah semuanya mungkin.