Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 31 Desember 2013

Coretan Akhir Tahun



Kita telah berada di penghujung tahun 2013. Bersiap menapaki 2014. Hanya tersisa beberapa jam saja. Beberapa jam yang mungkin bisa kau isi dengan sesuatu yang bermakna. Aku sendiri sebenarnya ingin menulis sepanjang waktu yang tersisa tahun ini (yang hanya beberapa jam lagi). Tapi apa boleh buat. Aku punya tanggung jawab lain. Hingga dengan terpaksa menjadikan menulis aktivitas nomor sekian hari ini (kecuali menulis angka tentu saja :))
Disela-sela waktu yang sempit ini, bolehlah sejenak aku menoleh ke belakang.  Melongok sekilas kehidupanku sepanjang tahun ini. Apa yang istimewa? Apa yang luar biasa? Sayangnya tidak ada jawaban yang membahagiakan.  Kurva hidupku datar, mengambang begitu saja. Aku hanya bisa menghela napas mengingat kembali resolusi 2013 yang berselimut debu. Lagi-lagi aku gagal mendisiplinkan diri. Selalu begitu. Tidak berubah dari tahun ke tahun. Kusadari itu itulah titik kelemahanku.  Aku selalu suka menunda-nunda, tidak gigih melebihkan usaha, dan terlalu pesimis. Tiga hal yang menjadi masalah terbesar dalam hidupku. 
Tidak banyak kenangan berkesan yang tercipta sepanjang tahun ini. Satu-satunya kenangan yang paling istimewa terjadi di akhir Juni. Perwujudan angan-angan masa kecilku : “keliling” Aceh. Mengapa pakai tanda kutip? Karena aku benar-benar cuma keliling, numpang lewat. Pertama dalam hidup melintasi jalur Barat Selatan lalu melewati perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Benar-benar bersejarah. Pertama kali juga aku melalui perjalanan terlama. Hampir 15 jam perjalanan Banda Aceh – Subulussalam. Nyaris 24 jam waktu tempuh Subulussalam-Banda Aceh via Medan. Sebuah perjalanan panjang yang mengesankan.
Aku berada di garis batas.
Ratusan kilometer jauhnya dari rumah.
Nyaris 15 Jam perjalanan.
Melewati jalan berliku curam.
Lelah? Iya
Namun gembira lebih mendominasi.
Bertahun-tahun aku menanti kesempatan ini.
Dan semalam kami telah mengelilingi separuh Aceh,
Pantai Barat Selatan yang konon mempesona dan memukau itu telah kutelusuri.
Tetapi kegelapan malam membuatku tidak bisa menikmati pesonanya.
Aku hanya numpang lewat.
Dengan menahan rasa yang menggelegak
Lusa, akan melewati separuh lagi, Jalur Timur Utara.
Melewati garis batas, hal yang selalu kudamba.
                                                                Subulussalam, 27 Juni 2013
Tidak ada pencapaian yang pantas kubanggakan tahun ini. Hidupku stagnan. Sepertinya aku justru terjebak dalam kehidupan orang-orang di sekitarku. Aku yang semula memposisikan diri sebagai penonton, akhirnya terseret arus dalam alur cerita meski hanya sebagai figuran. Tentu sangat mengecewakan mengetahui kebobrokan mereka yang selama ini kau jadikan panutan, teladan. Tergerus semua rasa percaya pada mereka yang berjanji membawa obor harapan, ternyata obor itu justru untuk menyulut kebakaran. Tentu saja sangat tidak menyenangkan menyadari kamu ada di sana, melihat, mendengar, merasakan tapi tidak kuasa berbuat apa-apa. Tetapi ketika kamu kehilangan harapan pada mereka, bukan berrati kamu harus memadamkan asa dalam dirimu. Tetaplah berjalan di garis lurus, ikuti jalan yang benar, berpedoman keyakinan di hatimu. Tidak peduli bagaimana stagnannya hidupmu, betapapun datarnya, kamu dapat selalu berbahagia. Selama kamu teguh berpegang pada kebenaran. Kamu boleh berbaur, tapi jangan melebur. Kamu mungkin terpeleset lalu tercebur, tapi jangan sampai terlarut.
Terlepas dari apapun, aku menyongsong 2014 dengan dengan semangat lama yang menggebu kembali. Membuka kembali resolusi lama, menulis ulang menjadi resolusi baru, dengan beberapa catatan, dengan beberapa garis bawah. 2014 harus lebih baik, dan yang lebih penting ada satu janji yang benar-benar harus kutepati. Tidak bisa menunggu lagi. Aku harus bangkit semangat menggerakkan kurva hidupku. Merangkak naik pelan-pelan. Ya, pelan-pelan saja.

Kamis, 28 November 2013

Surat Pak Anies Baswedan



Assalamu'alaikum wr wb dan salam sejahtera untuk semua.
 “Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”
Itu kalimat dari seorang relawan dalam sebuah diskusi. Lantang ia ucapkan dan menghujam. Ia mengoyak pandangan tradisional yang mengungkung kita selama ini.
Dalam minggu-minggu terakhir ini saya bertemu ribuan saudara sebangsa yang hadir di berbagai forum. Semua hadir karena sama-sama mencintai Indonesia dan ingin berbuat sesuatu. Tidak satupun hadir karena uang transport, karena kaos, karena rupiah. Silaturahmi kita tak dibangun pakai rupiah, tapi pakai idealisme dan semangat untuk memajukan Indonesia. Idealisme dan semangat perjuangan itu tak ternilai harganya. Itu yang membedakan kumpulan kita.
Semua sukarela hadir, semua sukarela berbuat. Kita semua iuran waktu, iuran tenaga, iuran uang ataupun iuran keahlian. Ini mengingatkan kita bahwa Republik ini dibangun dengan semangat gotong-royong, semua turun tangan. Kini kita bangkit-kuatkan kembali tradisi mulia itu.
Di Timur Indonesia relawan turun tangan Makassar berinisiatif mengadakan acara dari “Dari Timur Kaum Muda Turun Tangan Untuk Indonesia”. Di tempat bersejarah, Gedung Mulo Makassar, semua merasakan aura positif anak muda yang menginginkan perubahan. Ruangan itu makin hangat karena dipadati oleh ratusan anak-anak muda. Juga di sebuah warung kopi di Makassar, berkumpul relawan dengan berbagai latar belakang. Semua nyatakan siap untuk turun tangan bersama.
Ribuan kilometer jauhnya dari Makassar, teman-teman relawan di Padang, Sumatera Barat menginisiasi pertemuan relawan turun tangan. Pertemuan itu sederhana, tapi ia pancarkan misi positif untuk bersama-sama turun tangan. Dari Padang saya khusus mampir ke rumah tempat kelahiran Bung Hatta. Dari lantai atas rumah itu, lahir seorang yang mengatasi kolonialime dari Nusantara.
Bermalam di rumah teman kuliah dulu di Yogya, di Nagari Kamang dekat Bukittinggi. Duduk bersila bersama Ninik Mamak dan warga di Nagari, mendengar banyak cerita tentang heroisme Perang Kamang; heroisme yang terlupakan dalam sejarah umum Indonesia.
Dari Tanah Sumatera, saya sempat mengunjungi Ciamis, secara geografis luasnya boleh kecil tapi semangat yang ia pancarkan tak terkira besarnya. Hati saya bergetar mendengarkan para santri di Ciamis menggelorakan lagu perjuangan yang diciptakan oleh teman-teman yang siap turun tangan di Pondok itu. Saya baru pertama kali dengar dan tidak mengira akan ada lagu menggugah muncul pagi itu. Teman relawan di Solo juga membuat lagu turun tangan.
Mendengar lagu-lagu tersebut muncul lagi perasaan bahwa republik ini seperti sebuah orkestra yang masing-masing orang dapat memiliki peran di dalamnya, masing-masing kita dapat turun tangan. Ini seperti sebuah orkestra angklung. Setiap orang pegang satu angklung dan saat bergerak dengan irama yang rancak maka ia akan menggemuruh sebagai sebuah gerakan nada yang luar biasa. Semua terlibat membunyikan dan semua menikmati sepenuh hati. Itulah ilustrasi gerakan yang sedang kita bangun, bukan ratusan penonton terpesona oleh pemain di panggung tapi semua bermain dan semua menikmati orkestra.
 
Saya mengapresiasi apa yang telah teman-teman dan kita semua kerjakan, kita semua relawan. Pada teman-teman relawan saya melihat ikhtiar kita untuk ikut turun tangan mengurus republik ini dapat terus kita lakukan.
Seperti saya sering kutip, "Penyimpangan, kejahatan bisa terus berlangsung bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan". Anda, saya dan kita semua telah memilih untuk tidak diam dan tidak mendiamkan. Kita ingin ubah agar Republik ini jadi teladan. Dan, kita semua bisa sama-sama mengatakan bahwa kita tidak tinggal diam, kita pilih berbuat.
Hari ini saya mengingat kembali apa yang dikatakan oleh salah seorang relawan di atas, “Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”. Merefleksikan itu kembali setelah menjalani silaturahmi bersama relawan di berbagai kota saya makin yakin bahwa ucapan itu bukan jargon kosong belaka. 

Mari kita besarkan, kita kirim pesan optimis bagi semua bahwa kita tidak tinggal diam. Ini barisan perjuangan, bukan barisan parade dalam sebuah upacara yang segalanya telah serba tertata. Rute di depan bisa terjal, bisa penuh tikungan dan jurang; tapi kita memilih untuk menempuh rute perjuangan. Kita akan jalani, akan berjuang dan selalu hadapi dengan semangat tinggi.
Saya tulis catatan ini di atas kereta Api dalam perjalanan dari Purwokerto ke Yogyakarta. Ya, di lintasan kereta yang kami lewati adalah sisi cerah Indonesia: anak-anak kecil yang main di sawah, yang main sepakbola dan berenang di sungai. Di sepanjang lintasan kereta ini mereka memang belum sejahtera. Tapi mari kita ikhtiarkan bahwa anak-anak yang kini bermain dalam kecerian dan kepolosan kelak bisa tersenyum lebih lebar karena merasakan manfaat kemajuan dan mensyukuri bahwa ada generasi kakak-kakaknya yang tidak tinggal diam, yang pilih berjuang. Misi ini masih panjang, dan suara teman-teman relawanlah yang membuat misi ini akan terus bergaung, suara tulus yang dapat mengalahkan baliho sebesar apapun.
Selamat untuk semua. Semangat kita tetap sama: syukuri perkembangan, perbaiki kekurangan dan siap turun tangan! 

Salam hangat dari lintas kereta dekat Kutoarjo,
Anies Baswedan

Senin, 28 Oktober 2013

Puisi 28 Oktober



SUMPAH UNTUK INDONESIA
Gemuruh semangat
Memayungi langit Batavia Oktober 85 tahun silam
Para pemuda menyuarakan tekad
Menyatukan semangat
Dalam satu sumpah berbingkai INDONESIA
Sumpah itu menggema di seantero negeri
Menyalakan api perjuangan
Sejarah memahatkan prasasti
Saksi betapa semangatnya pemuda Indonesia

Tahun berganti
Hingga hari ini sumpah itu terus diperingati
Pemuda kita masih kuat dan semangat
Kuat berorasi dan demonstrasi
Kuat berpangku tangan tanpa karya untuk negeri
Kuat berperilaku anarki
Ada ribuan pemuda yang kuat
Tapi hanya segelintir yang semangat
Berkarya nyata untuk negeri.
Gemuruh semangat 1928 telah pudar
Kekuatan dan semangat itu tak lagi menyatu
Dalam satu sumpah untuk INDONESIA

28 Oktober 2013

KEPADA KAWAN
Ini tentang negeri kita kawan
Semakin hari kian carut marut tak karuan
Beragam konflik, pertikaian, pertentangan kepentingan
Diramu sebagai tontonan harian,
Menemani sarapan, santap siang dan makan malam
Aku, kamu, kita semua..
Muak..
Tapi aku, kamu, kita semua
Tidak berdaya terlarut di dalamnya.

Bangun, Teman...
Buka lebar matamu
Kita adalah pewaris negeri ini
Harapan ibu pertiwi
Dipundak kita masa depan negeri ini ditumpukan.

Berkarya, kawan
Persembahkan segenap jiwa ragamu
Sembuhkan luka negeri tercinta kita
Jikapun kau tak bisa atau tak mau berusaha
Jangan menambah beban ibu pertiwi kita
Dengan kekerasan, anarki atau lain huru hara
Duduk manislah sebagai generasi apatis.
Tapi apa iya kau mau jadi seorang apatis?
Ayo, kawan..
Jangan kecewakan
Pemuda 1928
Pejuang 1945
Revolusioner 1966
Reformis 1998
Juga semua generasi pejuang yang tidak bernama
Sebelum hingga setelah negeri ini diproklamirkan.
Kita mewarisi semangat perjuangan mereka
Kita mewarisi hasil perjuangan mereka.
Jangan siakan tetes keringat dan tumpah darah mereka.

Ayo, Kawan
Ini tentang negeri kita.
Bersumpahlah sekali lagi
Lebih nyaring, lebih semangat, lebih bertenaga.
Kita berdiri di garda depan Republik
Berdayakan potensi diri
Berkarya
Persembahkan terbaik untuk negeri.
Berikrarlah, kawan..
Kita bukan generasi apatis.
Lihatlah jalan yang terbentang.
Berbinar harapan.

                        28 Oktober 2012