Assalamu'alaikum wr wb dan salam sejahtera untuk semua.
“Suara seorang relawan yang tulus mengalahkan
baliho sebesar apapun!”
Itu kalimat dari seorang relawan
dalam sebuah diskusi. Lantang ia ucapkan dan menghujam. Ia mengoyak pandangan
tradisional yang mengungkung kita selama ini.
Dalam minggu-minggu terakhir ini
saya bertemu ribuan saudara sebangsa yang hadir di berbagai forum. Semua hadir
karena sama-sama mencintai Indonesia dan ingin berbuat sesuatu. Tidak satupun
hadir karena uang transport, karena kaos, karena rupiah. Silaturahmi kita tak dibangun pakai
rupiah, tapi pakai idealisme dan semangat untuk memajukan Indonesia.
Idealisme dan semangat perjuangan itu tak ternilai harganya. Itu yang
membedakan kumpulan kita.
Semua sukarela hadir, semua
sukarela berbuat. Kita semua iuran waktu, iuran tenaga, iuran uang ataupun
iuran keahlian. Ini mengingatkan
kita bahwa Republik ini dibangun dengan semangat gotong-royong, semua turun
tangan. Kini kita bangkit-kuatkan kembali tradisi mulia itu.
Di Timur Indonesia relawan turun
tangan Makassar berinisiatif mengadakan acara dari “Dari Timur Kaum Muda Turun Tangan
Untuk Indonesia”. Di tempat bersejarah, Gedung Mulo Makassar, semua
merasakan aura positif anak muda yang menginginkan perubahan. Ruangan itu makin
hangat karena dipadati oleh ratusan anak-anak muda. Juga di sebuah warung kopi
di Makassar, berkumpul relawan dengan berbagai latar belakang. Semua nyatakan
siap untuk turun tangan bersama.
Ribuan kilometer jauhnya dari
Makassar, teman-teman relawan di Padang, Sumatera Barat menginisiasi pertemuan relawan turun tangan.
Pertemuan itu sederhana, tapi ia pancarkan misi positif untuk bersama-sama
turun tangan. Dari Padang saya khusus mampir ke rumah tempat kelahiran Bung
Hatta. Dari lantai atas rumah itu, lahir seorang yang mengatasi kolonialime
dari Nusantara.
Bermalam di rumah teman kuliah dulu
di Yogya, di Nagari Kamang dekat Bukittinggi. Duduk bersila bersama Ninik Mamak
dan warga di Nagari, mendengar banyak cerita tentang heroisme Perang Kamang; heroisme yang
terlupakan dalam sejarah umum Indonesia.
Dari Tanah Sumatera, saya sempat
mengunjungi Ciamis, secara geografis luasnya boleh kecil tapi semangat yang ia pancarkan tak terkira
besarnya. Hati saya bergetar mendengarkan para santri di Ciamis
menggelorakan lagu perjuangan yang diciptakan oleh teman-teman yang siap turun
tangan di Pondok itu. Saya baru pertama kali dengar dan tidak mengira akan ada
lagu menggugah muncul pagi itu. Teman relawan di Solo juga membuat lagu turun
tangan.
Mendengar lagu-lagu tersebut muncul
lagi perasaan bahwa republik ini seperti sebuah orkestra yang masing-masing
orang dapat memiliki peran di dalamnya, masing-masing kita dapat turun tangan.
Ini seperti sebuah orkestra angklung. Setiap orang pegang satu angklung dan
saat bergerak dengan irama yang rancak maka ia akan menggemuruh sebagai sebuah
gerakan nada yang luar biasa. Semua
terlibat membunyikan dan semua menikmati sepenuh hati. Itulah ilustrasi gerakan
yang sedang kita bangun, bukan ratusan penonton terpesona oleh pemain di
panggung tapi semua bermain dan semua menikmati orkestra.
Saya mengapresiasi apa yang telah
teman-teman dan kita semua kerjakan, kita semua relawan. Pada teman-teman
relawan saya melihat ikhtiar kita untuk ikut turun tangan mengurus republik ini
dapat terus kita lakukan.
Seperti saya sering kutip,
"Penyimpangan, kejahatan bisa terus berlangsung bukan karena banyaknya
orang jahat, tapi karena orang baik memilih diam dan mendiamkan". Anda,
saya dan kita semua telah memilih untuk tidak diam dan tidak mendiamkan. Kita
ingin ubah agar Republik ini jadi teladan. Dan, kita semua bisa sama-sama
mengatakan bahwa kita tidak tinggal diam, kita pilih berbuat.
Hari ini saya mengingat kembali apa
yang dikatakan oleh salah seorang relawan di atas, “Suara seorang relawan yang
tulus mengalahkan baliho sebesar apapun!”. Merefleksikan itu kembali setelah
menjalani silaturahmi bersama relawan di berbagai kota saya makin yakin bahwa
ucapan itu bukan jargon kosong belaka.
Mari kita besarkan, kita kirim
pesan optimis bagi semua bahwa kita tidak tinggal diam. Ini barisan perjuangan,
bukan barisan parade dalam sebuah upacara yang segalanya telah serba tertata.
Rute di depan bisa terjal, bisa penuh tikungan dan jurang; tapi kita memilih
untuk menempuh rute perjuangan. Kita
akan jalani, akan berjuang dan selalu hadapi dengan semangat tinggi.
Saya tulis catatan ini di atas
kereta Api dalam perjalanan dari Purwokerto ke Yogyakarta. Ya, di lintasan
kereta yang kami lewati adalah sisi cerah Indonesia: anak-anak kecil yang main
di sawah, yang main sepakbola dan berenang di sungai. Di sepanjang lintasan
kereta ini mereka memang belum sejahtera. Tapi mari kita ikhtiarkan bahwa
anak-anak yang kini bermain dalam kecerian dan kepolosan kelak bisa tersenyum
lebih lebar karena merasakan manfaat kemajuan dan mensyukuri bahwa ada generasi
kakak-kakaknya yang tidak tinggal diam, yang pilih berjuang. Misi ini masih
panjang, dan suara teman-teman relawanlah yang membuat misi ini akan terus
bergaung, suara tulus yang dapat mengalahkan baliho sebesar apapun.
Selamat untuk semua. Semangat kita
tetap sama: syukuri perkembangan, perbaiki kekurangan dan siap turun tangan!
Salam hangat dari lintas kereta
dekat Kutoarjo,
Anies Baswedan