Lama tidak mengunjungi ‘rumah’ ini. Sok
sibuk dan menyibukkan diri. Kini aku datang dengan suasana hati yang buruk.
Hendak curhat? Mungkin. Ada kekesalan, kesedihan juga kemarahan yang ingin
kuluapkan. Campur aduk perasaan itu menguasaiku dua minggu ini.
Aku
tiba di tikungan rawan. Merasa pesimis dan skeptis dengan keadaan, lebih
tepatnya lingkungan pekerjaan.
Ada
teroris di kantor kami. Ya, itu yang ingin kuberitahukan.
Teroris
kantor kami menggila dua minggu lalu. Aku menamakannya teroris karena
kebiasaannya memaksa meminta pinjaman uang kas kantor. Dia datang di sore yang
sepi menjelang ashar. Awalnya dia sopan banget beramah tamah. Hanya menunggu
waktu hingga kemudian ia tiba pada tujuan kedatangannya. Meminta pinjaman uang.
Tak mungkin kuberikan lagi karena utangnya sudah menumpuk, tak mencukupi lagi
dipotong dari gaji. Sisa gajinya tak
lebih dari dua puluh ribu rupiah.
Tak kusangka
penolakanku akan menuai reaksi segila itu.Dia marah-marah dan mengamuk di
depanku. Ya, di depanku. Aku tetap bersikukuh tidak memberikan pinjaman uang,
karena begitulah pesan atasan. Dia tetap memaksa dengan nada yang mengancam dan
menyuruhku menelepon bos. Oke, aku
menelepon bos, beliau bilang tidak. Lalu HP direnggutnya. Dia marah-marah dan
memaki di telepon. Lalu makian dan sumpah serapah terarah kepadaku. Ia mulai
menendang meja, hingga alas kacanyanya tergeser nyaris jatuh. Kertas-kertas di
bawah kaca berhamburan di lantai. Ia masih melanjutkan aksi gilanya dengan
menendang filling dan meja. Sementara aku menepi ke sisi jendela. Posisi
mengamankan diri yang keliru.
Aku terperangkap tidak bisa keluar. Dia menghalangi jalan.
Yang
paling mengesalkan dari semua itu adalah aku merasa sendirian. Kedua rekan yang
masuk belakangan tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredam kegilaan itu, meski
aku tahu keduanya waspada. Mereka telah berusaha merangkul dan menenangkan.
Tapi ditepis dengan kasar. Selebihnya keduanya hanya diam. Sementara kalimat-kalimat
keras dan kasar terus berhamburan dari mulut sang teroris diiringi tendangan
kakinya yang terus mengancam.
Aku
pusing mendengarnya. Kepala mulai berkunang-kunang. Sungguh aku tidak siap
mental menghadapi situasi begini. Berhadapan dengan orang gila yang dikuasai
amarah. Dia memelototiku dengan bola mata yang berkilat merah. Urat-urat di
wajahnya terlihat jelas. Dia hanya berjarak setengah meter dariku. Menyemburku
dengan kata-kata kotor dan kasar. Bagaimanalah aku tidak gentar?
Seumur
hidup aku belum pernah mendengar orang marah sehebat itu, bertingkah sekasar
itu dan berbicara dengan caci maki yang aku tidak berani mengingatnya. Dan
semua itu ditujukan padaku. Itu adalah hari tersial dalam hidupku. Untuk
pertama kalinya aku mendengar seseorang memakiku tepat di depan wajahku. Aku
tidak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kata-kata kasar. Hidupku damai
dengan kesantunan sikap dan kata-kata. Aku bahkan sudah lupa seperti apa
rasanya dimarahi. Jadi bisa kamu bayangkan, bagaimana peliknya situasi yang
kuhadapi? Aku hanya tercengang membalas tatapan sadisnya yang mengancam.
Sungguh, aku sangat mengharapkan
pertolongan.
Aku
terdesak. Selain karena dengungan suara yang tak sanggup lagi kudengar serta
tingkahnya yang memuakkan, aku juga terdesak oleh waktu. Sebelumnya aku udah
minta izin mau pulang cepat karena ada janji mau menengok saudara yang baru
melahirkan. Kami janji pergi jam empat.
Aku
menakar situasi. Pertolongan yang kutunggu tidak kunjung tiba. Aku tidak punya pilihan selain memenuhi
permintaannya. Apa yang bisa kuharapkan dari bodyguard yang cuma duduk mematung?
Satu-satunya kelegaan adalah aku sedang tidak sendirian (berduaan saja dengan
si sableng). Tapi tetap saja tidak ada jaminan keselamatan apalagi payung
perlindungan.
“Ini
untuk terakhir kalinya aku memberimu uang.” Itu kalimat dengan intonasi
terkasar yang bisa kuluapkan. aku setengan berteriak mengucapkannya.
Dia
pun keluar setelah mengantongi uang 300 ribu itu. Aku merasa seperti baru saja
menjadi korban perampokan. Terduduk lemas di kursi. Mengusap wajah. Mengurut
dada. Menghirup napas dan menghembuskannya kuat-kuat. All is well. Lalu kupungut kertas-kertas yang
bertebaran. Tidak ada yang terjadi. Aku masih merasa baik-baik saja. Masih bisa
tertawa ketika menceritakan kejadiannya pada Kak Ida. Tapi keadaan berubah ketika
kembali ke ruangan usai shalat ashar. Aku tidak bisa lagi menahan gejolak
perasaan. Pondasi pertahananku runtuh. Ada airmata yang kemudian menetes. Tidak
tahu untuk apa aku menangis. Apakah karena aku merasa terlalu lemah dan tidak
cukup kuat hati menangkis kebrutalan itu? Atau mungkin juga naluriku tidak
terima diperlakukan sekasar itu.Oh entahlah. Yang jelas tiba-tiba aku merasa
ditinggalkan sendirian. Ada kesedihan yang membalut perasaan, dan mencuatkan
sebentuk kemarahan.
Airmata kembali menitik
ketika aku bercerita pada cek Ni dan Mak Ru yang mempertanyakan
keterlambatanku. Mereka terperangah, sebagian karena ceritaku, sebagian lagi
karena melihatku menangis. Mereka berang dan terlihat begitu mengkhawatirkan
keadaanku.
Tetapi
sama sekali tidak ada kepedulian dari pejabat berwenang. Tidak ada tindakan
apapun untuk pegawai yang keblinger itu. Sama sekali tidak ada. Yang ada dia malah semakin jumawa. Bertahun-tahun
dia menjadi parasit yang dibiarkan tumbuh. Kak Ida benar. Tidak ada yang
peduli. Masing-masing buang badan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Tetapi
aku ingin ada seseorang di luar sana yang mengetahui cerita ini. Maka aku
menuliskannya di sini. Memperlihatkan salah satu potret bobrok negeri ini.
Sosok abdi negara yang senewen, yang dihasilkan dari buruknya proses rekrutmen
cpns di masa lalu. Dia lulus menjadi abdi negara hanya karena kerabat seorang
pejabat. Tidak masalah jika dia punya
kompetensi. Tetapi ini, kompetensi apa yang dia punya? Tidak ada. Malah
merongrong keamanan lingkungan kerja. Keberadaannya justru membawa atmosfer
buruk. Betapa kasihannya negara ini. Menggaji
seorang parasit yang hanya menggerogoti keuangan negara. Dia sama sekali tidak
pernah mengabdi. Dia cuma
menjadi beban negara dan momok bagi sesama abdi negara.
Sore itu dia memang tidak melukaiku secara fisik (meski
nyaris dilakukan), melainkan menyilet dengan kata-kata. Setelah lebih dua
minggu kejadiannya, adakah kepedulian dari pejabat berwenang?
Jawabannya adalah sebuah senyuman miris.