Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 09 Desember 2014

Menjelang Akhir Desember



2014 sudah menapaki Desember. Selalu tersentak ketika tiba di Desember. Hah? Sudah Desember lagi? Dan Pertanyaan paling menohok di bulan Desember adalah, apakah pencapaian terbaikmu tahun ini? Atau apakah tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya? Pertanyaan yang menggiring ingatan pada coretan-coretan harapan di buku harian ketika awal Januari. Apakah harapan selaras kenyataan? Apakah mimpi diikuti oleh aksi? Ataukah ia hanya sekedar coretan di atas kertas yang setiap akhir tahun dibaca ulang dengan penuh helaan napas panjang?
Kuakui tidak ada pencapaian terbaik tahun ini. Aku justru merasakan kemunduran. Tenggelam dalam pekerjaan yang juga nyaris menenggelamkan semua impian. Dengan kondisi seperti ini, aku tidak berani menuliskan apapun lagi dalam resolusi tahun baru. Lima belas tahun  mengulang kalimat yang sama, mulai merasa jenuh. Tidak ada daya pengungkit yang jitu untuk membangkitkan semangat dan tekadku.
Lalu, aku harus bagaimana? Teruslah bermimpi. Seperti kata Arai dalam Laskar Pelangi “Bermimpilah. Karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Kamis, 23 Oktober 2014

TENTANG 'TERORIS' DI KANTOR KAMI


Lama tidak mengunjungi ‘rumah’ ini. Sok sibuk dan menyibukkan diri. Kini aku datang dengan suasana hati yang buruk. Hendak curhat? Mungkin. Ada kekesalan, kesedihan juga kemarahan yang ingin kuluapkan. Campur aduk perasaan itu menguasaiku dua minggu ini.
     Aku tiba di tikungan rawan. Merasa pesimis dan skeptis dengan keadaan, lebih tepatnya lingkungan pekerjaan.
         Ada teroris di kantor kami. Ya, itu yang ingin kuberitahukan.
        Teroris kantor kami menggila dua minggu lalu. Aku menamakannya teroris karena kebiasaannya memaksa meminta pinjaman uang kas kantor. Dia datang di sore yang sepi menjelang ashar. Awalnya dia sopan banget beramah tamah. Hanya menunggu waktu hingga kemudian ia tiba pada tujuan kedatangannya. Meminta pinjaman uang. Tak mungkin kuberikan lagi karena utangnya sudah menumpuk, tak mencukupi lagi dipotong dari gaji. Sisa gajinya tak lebih dari dua puluh ribu rupiah.
         Tak kusangka penolakanku akan menuai reaksi segila itu.Dia marah-marah dan mengamuk di depanku. Ya, di depanku. Aku tetap bersikukuh tidak memberikan pinjaman uang, karena begitulah pesan atasan. Dia tetap memaksa dengan nada yang mengancam dan menyuruhku menelepon bos. Oke,  aku menelepon bos, beliau bilang tidak. Lalu HP direnggutnya. Dia marah-marah dan memaki di telepon. Lalu makian dan sumpah serapah terarah kepadaku. Ia mulai menendang meja, hingga alas kacanyanya tergeser nyaris jatuh. Kertas-kertas di bawah kaca berhamburan di lantai. Ia masih melanjutkan aksi gilanya dengan menendang filling dan meja. Sementara aku menepi ke sisi jendela. Posisi mengamankan diri yang keliru. Aku terperangkap tidak bisa keluar. Dia menghalangi jalan.
         Yang paling mengesalkan dari semua itu adalah aku merasa sendirian. Kedua rekan yang masuk belakangan tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredam kegilaan itu, meski aku tahu keduanya waspada. Mereka telah berusaha merangkul dan menenangkan. Tapi ditepis dengan kasar. Selebihnya keduanya hanya diam. Sementara kalimat-kalimat keras dan kasar terus berhamburan dari mulut sang teroris diiringi tendangan kakinya yang terus mengancam.
      Aku pusing mendengarnya. Kepala mulai berkunang-kunang. Sungguh aku tidak siap mental menghadapi situasi begini. Berhadapan dengan orang gila yang dikuasai amarah. Dia memelototiku dengan bola mata yang berkilat merah. Urat-urat di wajahnya terlihat jelas. Dia hanya berjarak setengah meter dariku. Menyemburku dengan kata-kata kotor dan kasar. Bagaimanalah aku tidak gentar?
         Seumur hidup aku belum pernah mendengar orang marah sehebat itu, bertingkah sekasar itu dan berbicara dengan caci maki yang aku tidak berani mengingatnya. Dan semua itu ditujukan padaku. Itu adalah hari tersial dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku mendengar seseorang memakiku tepat di depan wajahku. Aku tidak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kata-kata kasar. Hidupku damai dengan kesantunan sikap dan kata-kata. Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasanya dimarahi. Jadi bisa kamu bayangkan, bagaimana peliknya situasi yang kuhadapi? Aku hanya tercengang membalas tatapan sadisnya yang mengancam. Sungguh, aku sangat mengharapkan pertolongan.
        Aku terdesak. Selain karena dengungan suara yang tak sanggup lagi kudengar serta tingkahnya yang memuakkan, aku juga terdesak oleh waktu. Sebelumnya aku udah minta izin mau pulang cepat karena ada janji mau menengok saudara yang baru melahirkan. Kami janji pergi jam empat.
       Aku menakar situasi. Pertolongan yang kutunggu tidak kunjung tiba.  Aku tidak punya pilihan selain memenuhi permintaannya. Apa yang bisa kuharapkan dari bodyguard yang cuma duduk mematung? Satu-satunya kelegaan adalah aku sedang tidak sendirian (berduaan saja dengan si sableng). Tapi tetap saja tidak ada jaminan keselamatan apalagi payung perlindungan.
       “Ini untuk terakhir kalinya aku memberimu uang.” Itu kalimat dengan intonasi terkasar yang bisa kuluapkan. aku setengan berteriak mengucapkannya.
     Dia pun keluar setelah mengantongi uang 300 ribu itu. Aku merasa seperti baru saja menjadi korban perampokan. Terduduk lemas di kursi. Mengusap wajah. Mengurut dada. Menghirup napas dan menghembuskannya kuat-kuat.  All is well. Lalu kupungut kertas-kertas yang bertebaran. Tidak ada yang terjadi. Aku masih merasa baik-baik saja. Masih bisa tertawa ketika menceritakan kejadiannya pada Kak Ida. Tapi keadaan berubah ketika kembali ke ruangan usai shalat ashar. Aku tidak bisa lagi menahan gejolak perasaan. Pondasi pertahananku runtuh. Ada airmata yang kemudian menetes. Tidak tahu untuk apa aku menangis. Apakah karena aku merasa terlalu lemah dan tidak cukup kuat hati menangkis kebrutalan itu? Atau mungkin juga naluriku tidak terima diperlakukan sekasar itu.Oh entahlah. Yang jelas tiba-tiba aku merasa ditinggalkan sendirian. Ada kesedihan yang membalut perasaan, dan mencuatkan sebentuk kemarahan.  
      Airmata kembali menitik ketika aku bercerita pada cek Ni dan Mak Ru yang mempertanyakan keterlambatanku. Mereka terperangah, sebagian karena ceritaku, sebagian lagi karena melihatku menangis. Mereka berang dan terlihat begitu mengkhawatirkan keadaanku.
      Tetapi sama sekali tidak ada kepedulian dari pejabat berwenang. Tidak ada tindakan apapun untuk pegawai yang keblinger itu. Sama sekali tidak ada. Yang ada dia malah semakin jumawa. Bertahun-tahun dia menjadi parasit yang dibiarkan tumbuh. Kak Ida benar. Tidak ada yang peduli. Masing-masing buang badan untuk menyelamatkan diri sendiri.
      Tetapi aku ingin ada seseorang di luar sana yang mengetahui cerita ini. Maka aku menuliskannya di sini. Memperlihatkan salah satu potret bobrok negeri ini. Sosok abdi negara yang senewen, yang dihasilkan dari buruknya proses rekrutmen cpns di masa lalu. Dia lulus menjadi abdi negara hanya karena kerabat seorang pejabat. Tidak masalah jika dia punya kompetensi. Tetapi ini, kompetensi apa yang dia punya? Tidak ada. Malah merongrong keamanan lingkungan kerja. Keberadaannya justru membawa atmosfer buruk. Betapa kasihannya negara ini. Menggaji seorang parasit yang hanya menggerogoti keuangan negara. Dia sama sekali tidak pernah mengabdi. Dia cuma menjadi beban negara dan momok bagi sesama abdi negara.
      Sore itu dia memang tidak melukaiku secara fisik (meski nyaris dilakukan), melainkan menyilet dengan kata-kata. Setelah lebih dua minggu kejadiannya, adakah kepedulian dari pejabat berwenang?
       Jawabannya adalah sebuah senyuman miris.


Selasa, 21 Oktober 2014

Terima Kasih Pak SBY



Kemarin, 20 Oktober 2014 Indonesia mengukir sejarah baru.
Peralihan kekuasaan, pergantian pucuk pimpinan tertinggi.
Pelantikan presiden ketujuh, lepas sambut tanggung jawab mengelola negeri.
Rakyat larut dalam euforia.
Sementara aku hanyut dalam haru biru melepaskan yang pergi.


Terima kasih pak SBY, untuk 10 tahun pengabdian.
Bapak telah mmepersembahkan yang terbaik untuk rakyat dan negara ini.
Engkau telah berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini.


10 tahun bukan waktu yang singkat.
Itu adalah rentang waktu yang panjang untuk sebuah kepemimpinan.  
Bapak telah sekuat tenaga mencerahkan wajah Indonesia.
Kami mengapresiasi dedikasimu untuk negeri ini.
Bapak telah memimpin  dengan segenap kelebihan dan kekurangan.
Tentu bukan hal yang mudah memimpin Indonesia yang penuh warna dengan beragam gejolak. Sebagai manusia tentu saja Bapak memiliki banyak kekurangan.
Beberapa kalangan bersuara sumbang atas kekuranganmu.
Tetapi ada lebih banyak orang yang mengapresiasi keberhasilan dan kerja keras Pak SBY.
Dan kemarin aku menyaksikan betapa Pak SBY dicintai oleh rakyatnya.


Selamat beristirahat, Pak SBY.
Meski kami tahu engkau tidak sepenuhnya beristirahat.
Kami tahu bapak akan terus berkarya unntuk negara tercinta ini.
Kami tahu Bapak masih dan akan terus memikirkan negeri ini.
Kini Bapak kembali pada rakyat sebagai rakyat.
Kini Bapak punya waktu seutuhnya bersama keluarga.
Semoga penuh kebahagiaan ya, Pak.
Dan jangan pernah lupakan keluarga besar Indonesia yang selalu mencintaimu.


Selamat bekerja Presiden Joko Widodo.
Rakyat mempercayakan Bapak untuk menakhkodai negeri ini.
Harapan-harapan tinggi disampirkan di bahumu.
Kami menunggu pembuktian janji-janjimu.