Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 04 Maret 2015

Mereka yang Telah Pergi





Kemarin dapat lagi kabar duka. Pak Hasballah, kepala SMPku dulu telah berpulang menghadapNya. Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Bertambah lagi deretan pahlawan tanpa tanda jasaku yang telah tiada.

Kabar duka pertama saat tsunami 2004. Ibu Aklina, salah seorang guruku di SD turut menjadi korban keganasan gelombang. Teringat dulu sering ke rumahnya ketika lebaran. Lalu menyusul Ibu Syarifah, guru kesenian di SMP yang juga merupakan ibunda sahabatku.
Beberapa tahun berselang, Ibu Cut Azizah, guru Biologi di SMA juga menghembuskan nafas terakhirnya, disusul oleh Ibu Kartini, guru Agama.

Sedih hati mengetahui kabar pak Nurdin, guru SD ku yang juga telah berpulang menghadap Rabb nya. Dulu beliau mengajar Matematika merangkap kesenian. Beliau agak ‘sangar’ saat pelajaran Matematika tapi begitu sumringah di kelas Kesenian. Namaku selalu dipanggil ke depan untuk mengerjakan soal matematika, namun aku tidak menonjol dalam pelajaran kesenian. Satu-satunya kelas kesenian yang berkesan bagiku adalah ketika beliau mengajarkan lagu Ade Irma Suryani. “…kini dia berbaring di pangkuan Tuhan…

Beberapa waktu lalu aku menerima kabar duka tentang kepergian Pak T. Mahmud. Pak Mud, begitu kami biasa memanggilnya, merupakan guru Bahasa Indonesia di SD. Aku sangat akrab dengannya. Beliau sering bercerita dan mendongeng. Kami sering mendatangi rumah dinasnya di dalam kompleks sekolah saat jam istirahat khusus untuk mendengarkan dongeng. Tetapi ketika aku duduk di kelas yang lebih tinggi, aku pernah marah pada beliau.

“Bapak bohong. Cerita-cerita itu cuma karangan Bapak saja kan?”

Entah dirasuki setan apa hingga aku bisa berbicara sekasar itu padanya. Masih terbayang ekspresi wajah beliau yang kebingungan dan sedih melihatku berlari meninggalkannya. Di  tingkat terakhir SD justru aku yang hobi mengarang cerita alias menulis. Maaf Pak, telah begitu kejam menuduhmu.

Sekitar empat tahun lalu, aku pernah bertemu dengan Pak Mud. Terenyuh hati melihat beliau sudah sepuh digerogoti usia. Aku menyebutkan nama memperkenalkan diri. Beliau hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum. Aku ragu beliau masih mengingatku. Tujuh belas tahun lalu kami meninggalkan gerbang SD itu dalam waktu hampir bersamaan. Aku lulus SD, beliau pensiun.

Berita tak kalah mengejutkan adalah kabar duka awal tahun ini.  Pak Usman, guru Penjaskesku di SMP telah menghembuskan napas terakhirnya. Pak Us yang energik dan full semangat itu akhirnya pergi. Penjaskes bukanlah pelajaran favoritku, tetapi Pak Us adalah salah satu guru favoritku. Beliau umpama ruh SMP itu. Keberadaannya sangat penting dan berarti.  Beliau memprakarsai program-program sekolah. Selalu berada di garis depan. Pak Us selalu datang paling pagi ke sekolah. Nyaris saban pagi beliau berdiri di depan gerbang atau di pekarangan sekolah, berteriak menyuruh siswa yang berdatangan untuk memungut sampah. Alhasil sekolah kami selalu bersih. Aku kadang datang lebih cepat dari beliau, malas memungut sampah. Tapi sesekali beliau usil mendatangi kelas, menyuruhku mengambil sapu, lalu meminta menyapu daun majapahit yang berserakan di depan kelas. Aku tak bisa berkutik meski udah protes bahwa itu tanggung jawab petugas piket kebersihan kelas.

Kenangan-kenangan itu sering kali membuatku rindu untuk kembali menjejakkan kaki di sana. Tapi kenyataan bahwa aku takkan berjumpa lagi dengan orang-orang yang sama membuat hati sedih.

Selamat jalan guru-guru tercinta, pahlawan tanpa jasaku. Terima kasih telah menyuluh jalan hidupku. Terima kasih telah menempa semangatku. Allahummagfirlahum warhamhum  wa’afihim wa’fu’anhum