Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 24 April 2015

Calang, Sekilas Perjalanan



            Mengawali April, saya berkesempatan mengunjungi Calang, Aceh Jaya yang berjarak sekitar 150 km dari Banda Aceh. Ini bukan perjalanan wisata, tapi berkaitan dengan pekerjaan. Kami berangkat sore, setelah azan ashar.
            Calang basah usai diguyur hujan ketika kami tiba. Hujan juga turun sepanjang perjalanan. Tadinya aku berharap bisa melihat sunset di Gurutee. Tetapi cuaca mendung. Langit senja tidak jingga, tidak membiaskan rona merah saga.
            Malam di Calang begitu sunyi. Tidak banyak kerlip lampu. Jalanan sepi. Padahal malam belum larut ketika kami tiba. Belum pukul sembilan. Ternyata di pagi hari juga sama lengangnya. Dari balkon penginapan aku mengamati suasana. Sepi memagut pagi. Tidak banyak lalu lalang kendaraan. Tiba-tiba ada yang memecah sunyi. Sayup-sayup kudengar suara debur ombak. Seketika aku tersadar. Ini adalah kota di pinggir laut. Mataku liar mencari. Di sana, di seberang jalan, tersembunyi di balik jejeran pohon pinus, aku melihat gulungan ombak. Laut. Hanya berjarak  beberapa puluh meter dari hotel. Sungguh, ini kota yang tenang dengan panorama alam yang indah. 
                                                   pemandangan dari penginapan
 Namun laut yang tenang itu pernah bergelora. Saat tsunami 2004 kota Calang luluh lantak. Ribuan penduduknya menjadi korban. Garis pantainya bergeser. Calang sempat terisolir beberapa lama akibat jalan raya yang terputus.
Kini setelah sepuluh tahun berlalu, kota Calang telah bangkit. Kehidupan kembali berdenyut. Jalan rayanya lebar dengan kualitas aspal yang bagus, meski sepi dari lalu lintas kendaraan. Mobil kami seperti menguasai jalan sendirian. Sepanjang jalan banyak dijumpai plang rambu-rambu bergambar lembu. Namun kami tidak bertemu lembu seekor pun di jalan. Hanya ada serombongan kambing yang santai menyeberang di jalan yang lengang. Serombongan lembu sempat terlihat leyeh-leyeh di tepi pantai. Hmmm…
            Calang memang mulai bangkit. Tapi masih ada daerah yang terpinggirkan dari pembangunan. Dari jalan lintas Banda Aceh- Calang yang lebar, kami berbelok menyusuri jalanan kampung menuju desa Mata Ie, kecamatan Sampoiniet. Setelah menempuh jarak 1 km, jalan beraspal terputus. Mobil kami berakrobat di jalan tanah liat yang di sana sini berlubang tergenang air. Kiri kanan jalan semak belukar lebat. Tidak ada rumah atau bangunan apapun.
            Bergerak lebih jauh ke depan, mendekati pemukiman warga, terlihat areal kelapa sawit. Sekitar 3,5 km jarak tempuh menuju desa itu dari jalan raya. Sejauh itu kami terguncang pelan di jalan aspal merah bolong-bolong. Miris. Aku tahu kondisi ini masih banyak dijumpai  di berbagai pelosok negeri. Mereka terabaikan dari riuh pembangunan. Menjadi tumbal dari janji-janji kampanye tempo hari. Penduduk desa ini menyandarkan hidupnya pada pertanian dan perkebunan. Tapi tanpa prasarana jalan yang memadai, bagaimana mereka meningkatkan taraf kesejahteraan?
            “Dulu mata ie (mata air), sekarang ie mata (air mata)” ujar salah seorang perangkat desa dengan nada getir.
            ‘Mata Ie Village’, aku mengeja pelan nama yang tertera di gerbang desa. Seketika senyumku terkembang. Selalu ada harapan. Dan desa ini juga sedang menabung harapan. Menunggu pelunasan janji kemerdekaan. Permintaan mereka sederhana. Hanya jalan aspal.
***
            
 
 Perjalanan melintasi pantai barat selatan Aceh sangat menyenangkan. Kita disuguhi pemandangan indah di sepanjang jalan. Laut di satu sisi, dan tebing tinggi di sisi lainnya. Ada tiga kelokan gunung yang harus dilewati sebelum menjumpai jalan raya Aceh Jaya yang mulus dan lebar. Tapi ketika musim hujan harus berhati-hati karena rawan longsor.

            Dalam perjalanan pulang kami singgah di Gurutee. Pemimpin rombongan memberi kami kesempatan berekspresi, bergaya dan jeprat jepret. Sayang kami tiba di sana terlalu cepat, sebelum sunset. Padahal Gurutee adalah spot yang oke untuk melihat sang surya tenggelam.
        


        

Di puncak Gurutee, di pinggir jalan yang sempit, beberapa pedagang batu akik berjejeran. Semenjak demam batu mewabah, kawasan pantai barat selatan menjadi ikon kawasan batu. 
Tak heran dalam trip kali ini, kami juga dititipi oleh-oleh batu. Sayangnya aku bukan penyuka batu dan tidak mengetahui seluk beluknya. Oleh-oleh yang kubeli di puncak Gurutee itu barangkali tidak memuaskan. Tapi namanya juga oleh-oleh. Hehehe… :D

Buku Meraba Indonesia



Buku               : Meraba Indonesia. Ekspedisi Gila Keliling Nusantara
Penulis            : Ahmad Yunus
Penerbit          : Serambi
Tahun             : 2011
Tebal               : 370 Halaman

11990399            Saya menuntaskan membaca buku ini di hari terakhir long weekend yang tadinya terasa membosankan. Hari pertama saya habiskan di rumah dengan leyeh-leyeh, malas-malasan, tidur-tiduran. Hari kedua menghadiri undangan sampai sore. Baru pada malam harinya saya melirik kembali buku Meraba Indonesia yang sudah saya baca seperempatnya.  Buku ini menyandera saya membaca hingga larut. Selesai saya baca keesokan paginya.  Di Minggu pagi yang bening, seusai mengikuti  ‘perjalanan keliling Indonesia’, pikiran saya benar-benar fresh untuk merenungkan Indonesia. Mendadak saya mempertanyakan kembali nasionalisme saya. Bagaimana dan sejauh mana saya mencintai Indonesia?
            Ahmad Yunus dan Farid Goban telah menuntaskan ekspedisi keliling Indonesia selama satu tahun. Mereka menyisir pulau-pulau wilayah terluar Republik. Memulai perjalanan dari Jakarta menuju Sumatera. Kemudian menelusuri pulau-pulau dari Pahawang, Enggano, Mentawai, Nias, Simeulue, Pulau Weh. Lalu menyusuri selat Malaka menuju Batam, mampir di pulau Penyengat, Midai, Natuna, akhirnya tiba di Kalimantan. Dari Pontianak, menuju Sampit, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, lalu mereka kembali mengarungi laut menuju pulau Derawan, Kakaban, dan ke perbatasan Indonesia Malaysia di Nunukan dan Sebatik.
            Ekspedisi mereka berlanjut ke Sulawesi. Melihat pembuatan Pinisi di Bira, Bulukumba. Lanjut ke pulau Takabonerate, Buton, Pulau Toga dan tak lupa ke Miangas yang terletak di ujung paling utara. Mereka tiba di Ternate, Maluku Utara. Kemudian naik kapal laut menuju Sorong. Mengelilingi Raja Ampat, lalu menyeberang ke Kepulauan Banda. Banda Neira yang bersejarah. Pala dan cengkehnya memikat penjajah. Dari Banda mereka bergerak ke Merauke, daerah paling timur Republik.
            Tujuan terakhir ekspedisi mereka adalah Flores. ke Ende dan Maumere. Karena tidak ada transportasi laut, mereka melakukan perjalanan udara dari Merauke ke Flores. Dari Flores mereka menggeber motor, bergerak pulang ke Jawa.
            Buku ini menghamparkan Indonesia ke dalam ruang imaji pembaca. Indonesia yang apa adanya. Kesenjangan sosial dan ekonomi di banyak tempat. Keadilan yang sama sekali tidak merata. Bagaimana masyarakat di pulau-pulau terluar bertahan hidup tanpa banyak mendapatkan perhatian dan kepedulian dari penguasa negeri. Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut. Tapi sayangnya wajah transportasi laut kita jauh dari layak. Akses transportasi antar pulau-pulau kecil juga tidak memadai. Indonesia memiliki banyak gugusan pulau yang mempesona dengan lautnya yang kaya. Tetapi karena tidak dikelola dengan baik, kekayaan itu belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Sejauh ini Indonesia yang saya jejaki  barulah sebagian Aceh dan secuil Sumatera Utara. Juni 2013 saya berkesempatan menyusuri pantai Barat Selatan Aceh. Melewati perbatasan Aceh Sumut di Subulussalam. Melalui Tapanuli Tengah, Brastagi, dan tiba di Kota Medan. Lalu pulang ke Banda Aceh menyusuri pantai Timur utara Aceh. Pulau yang saya jejaki baru pulau Weh, tempat kilometer nol Indonesia berada. Hanya sebatas itu wilayah Indonesia yang baru saya kelilingi. Bahkan saya belum pernah ke Jakarta, ibukota Republik. Meskipun begitu saya tidak mencintai Indonesia sepotong-sepotong. Saya mencintai Indonesia secara utuh dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga ke Rote.
Buku ini mengajak saya untuk  mengenali Indonesia lebih dekat, lebih rekat. Untuk kemudian mencintainya dengan lebih erat. Dan yang pasti saya harus lebih sering membuka peta Indonesia. Bukan sekedar mengagumi bnetuknya yang cantik, tapi juga mengenali wilayahnya secara spesifik.
Buku ini tidak saja menceritakan kisah-kisah selama perjalanan, tapi juga diperkaya dengan ulasan-ulasan sejarah masa silam. Saya berharap nasionalisme yang melekat dalam diri saya bukanlah nasionalisme khayalan, yang bisa saja kabur dan menghilang. Semoga suatu hari nanti saya bisa merasakan wajah Indonesia yang lain, menjejakkan kaki hingga ke sudut-sudut negeri.