Mengawali
April, saya berkesempatan mengunjungi Calang, Aceh Jaya yang berjarak sekitar
150 km dari Banda Aceh. Ini bukan perjalanan wisata, tapi berkaitan dengan
pekerjaan. Kami berangkat sore, setelah azan ashar.
Calang
basah usai diguyur hujan ketika kami tiba. Hujan juga turun sepanjang
perjalanan. Tadinya aku berharap bisa melihat sunset di Gurutee. Tetapi cuaca
mendung. Langit senja tidak jingga, tidak membiaskan rona merah saga.
Malam
di Calang begitu sunyi. Tidak banyak kerlip lampu. Jalanan sepi. Padahal malam
belum larut ketika kami tiba. Belum pukul sembilan. Ternyata di pagi hari juga
sama lengangnya. Dari balkon penginapan aku mengamati suasana. Sepi memagut
pagi. Tidak banyak lalu lalang kendaraan. Tiba-tiba ada yang memecah sunyi. Sayup-sayup
kudengar suara debur ombak. Seketika aku tersadar. Ini adalah kota di pinggir
laut. Mataku liar mencari. Di sana, di seberang jalan, tersembunyi di balik
jejeran pohon pinus, aku melihat gulungan ombak. Laut. Hanya berjarak beberapa puluh meter dari hotel. Sungguh, ini
kota yang tenang dengan panorama alam yang indah.
pemandangan dari penginapan
Namun
laut yang tenang itu pernah bergelora. Saat tsunami 2004 kota Calang luluh
lantak. Ribuan penduduknya menjadi korban. Garis pantainya bergeser. Calang
sempat terisolir beberapa lama akibat jalan raya yang terputus.
Kini setelah sepuluh tahun
berlalu, kota Calang telah bangkit. Kehidupan kembali berdenyut. Jalan rayanya
lebar dengan kualitas aspal yang bagus, meski sepi dari lalu lintas kendaraan.
Mobil kami seperti menguasai jalan sendirian. Sepanjang jalan banyak dijumpai
plang rambu-rambu bergambar lembu. Namun kami tidak bertemu lembu seekor pun di
jalan. Hanya ada serombongan kambing yang santai menyeberang di jalan yang
lengang. Serombongan lembu sempat terlihat leyeh-leyeh di tepi pantai. Hmmm…
Calang
memang mulai bangkit. Tapi masih ada daerah yang terpinggirkan dari pembangunan.
Dari jalan lintas Banda Aceh- Calang yang lebar, kami berbelok menyusuri
jalanan kampung menuju desa Mata Ie, kecamatan Sampoiniet. Setelah menempuh
jarak 1 km, jalan beraspal terputus. Mobil kami berakrobat di jalan tanah liat
yang di sana sini berlubang tergenang air. Kiri kanan jalan semak belukar
lebat. Tidak ada rumah atau bangunan apapun.
Bergerak
lebih jauh ke depan, mendekati pemukiman warga, terlihat areal kelapa sawit.
Sekitar 3,5 km jarak tempuh menuju desa itu dari jalan raya. Sejauh itu kami
terguncang pelan di jalan aspal merah bolong-bolong. Miris. Aku tahu kondisi
ini masih banyak dijumpai di berbagai
pelosok negeri. Mereka terabaikan dari riuh pembangunan. Menjadi tumbal dari
janji-janji kampanye tempo hari. Penduduk desa ini menyandarkan hidupnya pada
pertanian dan perkebunan. Tapi tanpa prasarana jalan yang memadai, bagaimana
mereka meningkatkan taraf kesejahteraan?
“Dulu
mata ie (mata air), sekarang ie mata (air mata)” ujar salah seorang
perangkat desa dengan nada getir.
‘Mata
Ie Village’, aku mengeja pelan nama yang tertera di gerbang desa. Seketika
senyumku terkembang. Selalu ada harapan. Dan desa ini juga sedang menabung
harapan. Menunggu pelunasan janji kemerdekaan. Permintaan mereka sederhana.
Hanya jalan aspal.
***
Perjalanan
melintasi pantai barat selatan Aceh sangat menyenangkan. Kita disuguhi
pemandangan indah di sepanjang jalan. Laut di satu sisi, dan tebing tinggi di
sisi lainnya. Ada tiga kelokan gunung yang harus dilewati sebelum menjumpai
jalan raya Aceh Jaya yang mulus dan lebar. Tapi ketika musim hujan harus
berhati-hati karena rawan longsor.
Dalam
perjalanan pulang kami singgah di Gurutee. Pemimpin rombongan memberi kami
kesempatan berekspresi, bergaya dan jeprat jepret. Sayang kami tiba di sana
terlalu cepat, sebelum sunset. Padahal Gurutee adalah spot yang oke untuk melihat sang surya tenggelam.
Di
puncak Gurutee, di pinggir jalan yang sempit, beberapa pedagang batu akik
berjejeran. Semenjak demam batu mewabah, kawasan pantai barat selatan menjadi ikon
kawasan batu.
Tak heran dalam trip kali ini, kami juga dititipi oleh-oleh batu.
Sayangnya aku bukan penyuka batu dan tidak mengetahui seluk beluknya. Oleh-oleh
yang kubeli di puncak Gurutee itu barangkali tidak memuaskan. Tapi namanya juga
oleh-oleh. Hehehe… :D





